Selasa, 07 Agustus 2012

[Fan Fiction] Always and Forever

Always and Forever (sumber dari sini)

Always and Forever
Wafda S. Dzahabiyya

Brakk….

“Aduh, kenapa pakai jatuh segala sih?! Nggak tahu orang lagi buru-buru apa?” Aku berjongkok dan membereskan satu-persatu buku yang tak sengaja kujatuhkan.

“Aih, ini dia undangannya! Dicari kemana-mana juga….” Aku tersenyum lega, akhirnya kutemukan juga undangan reuni SMA yang sedari tadi aku cari sampai menjatuhkan setumpuk buku dari meja belajar. Reuninya diselenggarakan malam ini, tapi aku lupa dimana alamatnya. Menyimpan undangannya saja aku lupa, apalagi alamatnya.

Cepat-cepat kubereskan buku-buku yang masih berserakan di lantai. Ini pertama kalinya aku akan bertemu kembali dengan teman-teman SMA setelah 5 tahun berpisah, jadi tentu saja aku tak mau telat.

Mataku tiba-tiba terpaku pada sebuah buku tebal bersampul putih biru, buku tahunan SMA. Tanpa kusadari aku mengambil buku itu dan mulai membuka lembar demi lembarnya. Aku tersenyum, kenangan-kenangan saat itu berputar diotakku. Selembar foto meluncur kepangkuanku saat kubuka lembar terakhir buku ini. Aku meraih foto itu. Itu fotoku, fotoku saat tersenyum dan berlatar belakang langit biru. Foto dengan berjuta kenangan, tentang aku, tentang dia, tentang kita….

***

“Aaahh…. Aku benci kimia!” Aku meremas hasil ulangan yang tadi dibagikan. Lagi-lagi aku mendapati angka 40 ditulis dengan spidol merah besar-besar bertengger di pojok atas kertas ulanganku. Guru kimiaku memang agak sensi padaku, tadi saja dia mengomeliku panjang lebar di ruang guru. Mungkin dia heran kenapa aku bisa mendapatkan nilai bagus di mata pelajaran lain sedangkan tidak dimata pelajarannya. Yah, aku sendiri juga heran sih, tapi sejak SMP aku memang tak pernah bisa berteman akrab dengan yang namanya kimia.

“Eh tunggu, ini dimana sih?!” Aku baru sadar sejak keluar dari ruang guru tadi, aku terus berjalan tak tentu arah. Tampaknya ini disuatu koridor di belakang sekolah. Tak ada seorang pun yang lewat disini. Disamping kiri koridor terdapat taman dengan ilalang yang tumbuh tinggi. Mungkin tempat ini benar-benar sudah tidak terurus lagi, cocok juga untuk tempat menyendiri.

Ckrekk….

Aku menoleh ke arah taman, sepertinya aku mendengar sesuatu.

Ckrekk….

Kulihat seseorang muncul dari balik pohon, diantara rimbunnya ilalang. Orang itu tampak asik dengan kameranya. Sepertinya aku mengenal dia.

Ckrekk….

Orang itu berbalik, kameranya mengarah tepat ke arahku. Selama beberapa saat ia terdiam, lalu menurunkan kameranya.

“Shin Hwa Ra?” tanya orang itu.

“Taecyeon?” aku balik bertanya. Benarkah yang ada dihadapanku ini Taecyeon? Seorang Ok Taecyeon, teman sekelasku yang cupu dan tak mudah didekati itu? Yang sama sekali nggak ada keren-kerennya itu? “Benarkah kamu Taecyeon?”

“Ya, kenapa?” tanya Taecyeon heran.

“Tidak, kau hanya tampak… berbeda!” kataku.

“Ah! Mungkin karena aku tidak pakai kacamata.” Taecyeon mengambil kacamata berlensa tebalnya dari saku seragam dan mengenakannya. “Aku sulit memotret kalau memakai kacamata,” tambahnya.

“Kau belajar fotografi?” tanyaku penasaran.

“Yah, ayahku seorang fotografer. Aku belajar darinya,” jawab Taecyeon.

“Banarkah?! Wah, aku juga ingin belajar fotografi…. Sudah lama sekali aku ingin, tapi tak ada yang bisa kumintai tolong untuk mengajariku. Apalagi aku tak punya kamera,” aku berhenti sebentar dan menatap Taec.

“Kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya curiga.

“Ajari aku fotografi yaa!” pintaku semangat.

“Apa?! Tidak tidak, aku juga masih belajar….”

“Yaah, ayolaah…. Atau kau fotokan aku!” pintaku lagi.

“Aku tidak bisa. Aku tidak bisa memotret manusia.”

“Hah? Kenapa?” tanyaku heran.

“Aku merasa bahwa manusia selalu berbohong di depan kamera. Mereka kadang tidak menunjukkan dirinya yang sebenarnya, munafik. Aku lebih suka memotret alam, mereka selalu jujur dan apa adanya. Ah, maaf, aku tidak bermaksud mengatakan kalau kau seperti itu.”

“Ah, tidak, tidak apa-apa. Aku tahu memang beberapa orang seperti itu. Aku tidak akan memaksa kau memotretku lagi,” aku tersenyum. Ternyata dia punya pemikiran seperti itu. Hebat sekali.

“Tapi kalau kau mau, aku bisa mengajarimu sedikit yang aku tahu,” kata Taecyeon tiba-tiba.

“Mengajariku memotret? Jinjja?” tanyaku semangat.

“Tentu, kita belajar bersama,” katanya sambil tersenyum.

Senyumnya, aku belum pernah melihat senyumnya itu. Dia bahkan hampir tak pernah melihatnya tersenyum dikelas.

“Taec, mianhae…,” kataku pelan.

“Kenapa?”

“Ah tidak, hanya… maaf telah menganggapmu tak ramah. Aku kira kau sulit untuk didekati, kau begitu tertutup dikelas. Ternyata kau sangat baik. Dan… kau punya senyum yang manis…,” ups, kututup mulutku yang tak sengaja keceplosan. Kulirik Taec, ia tampak memalingkan mukanya yang bersemu. Apakah ia malu?

Gomawo…,” katanya pelan.

***

“Ada yang mau mencalonkan diri menjadi panitia buku tahunan?” tanya Kim Minjun, ketua kelasku.

Seisi kelas diam. Tampaknya semua sepakat bahwa menjadi panitia buku tahunan bukanlah suatu hal yang menyenangkan.

“Tidak ada?” tanya Minjun lagi. “Kalau begitu biar aku saja yang mencalonkan. Aku mencalonkan Ok Taecyeon dan Shin Hwa Ra!”

Apa? Apa dia bilang tadi?! Aku?!

“Bagaimana? Apa semua sepakat?”

Pertanyaan Minjun tadi sontak mendapat sambutan positif. Semua sepakat. Sial!

“Nah, kalian tidak keberatan kan? Taecyeon, kau bisa mengambil foto anak-anak sekelas beserta lingkungan sekolah. Sedangkan Hwa Ra, kau yang mengumpulkan tulisan anak-anak dan merapikannya. Bisa kan?”

Aku melirik Taecyeon yang duduk beberapa bangku di belakangku. Dia tampaknya tidak sedikitpun berminat untuk membantah. Mau tak mau aku pun mengangguk.

***

“Kenapa tadi kau tidak menolak?” tanyaku pada Taecyeon sepulang sekolah. Kami tinggal berdua di kelas, membicarakan konsep buku tahunan untuk kelas kami.

“Kau sendiri kenapa? Tampaknya kau tidak begitu menyukai tugas ini?” Taec balik bertanya. Aku terdiam. Mana mungkin aku bilang kalau aku menerima tugas ini karena dia juga menerimanya.

“Tapi bukannya kau tidak suka memotret manusia?” tanyaku lagi.

“Yah, itu juga yang dari tadi aku pikirkan,” kata Taec sambil melepas kacamata dan mulai mengutak-atik kameranya.

“Bagaimana kalau aku saja yang memotret teman-teman? Jieun bilang dia akan meminjamiku kameranya. Yah, hanya kamera digital biasa sih, tapi lumayanlah. Nanti kau tinggal memotret lingkungan sekolah. Eh tapi, bantu aku merapikan tulisan mereka juga ya…,” kataku bersemangat.

“Haha, semangat sekali sih!”

Aku tertegun, Taec tertawa! Selama satu tahun sekelas dengannya, baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti ini. Tanpa kusadari aku pun ikut tersenyum.

***

“Foto anak-anak sudah, tulisannya juga sudah semua, berarti kita tinggal menyusunnya kan?” tanyaku sambil membereskan tulisan anak-anak sekelas yang tadi aku cek. Saat ini aku dan Taecyeon tengah duduk di halaman belakang sekolah, tempat pertama kami bertemu, untuk menyelesaikan tugas kami sebagai panitia buku tahunan.

“Tapi fotomu belum ada nih,” kata Taec yang sedang melihat-lihat hasil potretanku.

“Ah iya, kau juga belum aku foto loh! Sini, biar aku foto kamu…,” kataku semangat. Aku berbalik dan…. Ckrekk!

“Aaahhh…. Kau foto apa?!” tanyaku panik.

“Kamu,” jawab Taec santai.

“Apa?! Bukannya kau bilang kau tak suka memotret manusia?”

“Memang, karena itulah kau orang pertama yang aku potret,” kata Taec sambil tersenyum. Senyum itu, senyum yang hanya ia perlihatkan saat bersama denganku. Bolehkah aku merasa istimewa?

“Nah, sudah semua kan?” kata-kata Taec membuyarkan lamunanku.

“Ah, belum! Fotomu belum…,” protesku.

“Aku tak usah.”

“Tidak bisa, masa hanya fotomu yang tak ada.”

“Kalau begitu kita foto berdua saja, bagaimana?” tawar Taec.

Belum sempat aku berkomentar, Taec sudah mengambil kamera digital dan duduk disampingku. Diacungkannya kamera itu kehadapan kami.

“Ayo geser sedikit kesini….”

Aku menurut, kurapatkan lagi posisi dudukku hingga lengan kami saling bersentuhan.

“Duh, aku belum pernah memotret seperti ini sebelumnya,” gumam Taec pelan.

Kulirik dia, dan kulihat wajahnya sedikit bersemu. Tentu saja, dia pasti malu. Aku tersenyum dan kembali melihat kearah kamera.

“Siap?” Taec mulai memberi aba-aba. “Hana, dul, set!

Ckrekk….

***

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sambil tersenyum. Berkali-kali kubolak-balik halaman buku tahunan ditanganku ini, tapi perhatianku selalu terfokus pada satu foto. Ya, hanya pada fotoku dan Taecyeon. Kuelus foto yang agak blur itu, mungkin tangan Taec sedikit goyang saat memotretnya kemarin.

Aku kembali tersenyum saat membaca tulisan diatas foto kami, ‘Our Photographer’. Itu tulisanku, aku sengaja tidak menulis ‘Panitia’ atau istilah semacamnya, terlalu kaku menurutku. Lagipula anggap saja kalau tulisan itu adalah doa. Doa agar setelah lulus nanti kami benar-benar menjadi seorang fotografer.

Aku memasuki kelas yang mulai sepi. Banyak murid yang memilih untuk langsung pergi bersama teman-temannya setelah perayaan kelulusan selesai dan menikmati hari terakhir mereka sebagai seorang siswa. Ya, hari ini kami resmi meninggalkan bangku SMA.

Aku duduk di bangkuku, mungkin ini akan jadi yang terakhir kalinya. Aku melirik bangku milik Taec, bangku itu kosong. Seharian ini aku memang tidak melihatnya. Kemana dia? Masa dia tidak datang di hari kelulusannya?

Kuraih tas milikku. Sebuah foto meluncur jatuh dari dalam tasku yang terbuka. Foto apa itu? Rasanya aku tak pernah memasukkan foto kedalam tasku. Kuambil foto itu. Betapa terkejutnya aku, itu fotoku. Jangan-jangan ini foto yang diambil Taec waktu itu…. Jadi dia mencetakkannya? Lalu kenapa foto ini ada di tasku? Apa Taec datang kesekolah hari ini?

Kubalik foto itu, ada pesan dibaliknya. Pesan dengan tulisan tangan Taec. Aku menggigit bibirku, berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak.

‘You are my first, I Love You – Taecyeon’

***

“Hwa Ra! Sebelah sini!” kulihat Jieun melambaikan tangannya kearahku. Aku tersenyum dan cepat-cepat menghampirinya.

“Lama tidak bertemu Jieun!” seruku seraya memeluknya.

“Iya, tak terasa ya sudah 5 tahun,” balas Jieun. “Kau sadar tidak, 5 tahun yang lalu, kita juga lulus tepat di hari ini loh…. Harinya juga sama, hari sabtu 26 Mei!”

“Benarkah?! Aku sama sekali tidak sadar…. Jangan-jangan Minjun memang sudah memperhitungkannya lagi,” kataku. “Oh iya, aku belum telat kan?”

“Belum kok, kau hanya ketinggalan sambutan dari Minjun tadi,” canda Jieun.

“Wah, berarti aku yang paling akhir datang ya?”

“Tidak, ada satu orang lagi yang belum datang, Taecyeon…. Minjun bilang dia akan datang terlambat karena ada pekerjaan.”

“Taecyeon?” aku tersentak.

“Ya, kudengar dari Minjun, dia kembali dari Boston tahun lalu dan sekarang bekerja sebagai fotografer disebuah majalah,” jelas Jieun.

Aku kembali teringat kata-kata Minjun 5 tahun yang lalu, “Ah, Taecyeon…. Kemarin dia bilang padaku kalau dia tidak bisa ikut upacara kelulusan. Dia bilang, dia akan mengikuti orang tuanya, meninggalkan Korea dan pindah ke Boston. Dia berangkat siang ini.”

Jadi dia sudah kembali?

***

“Maaf aku terlambat!”

Seruan itu membuatku dan seisi ruangan menoleh kearah pintu masuk. Disana berdiri seorang pria tinggi dan tampan yang menyandang tas ransel dan tas kamera. Aku menggigit bibir bawahku. Dia datang….

“Itu Taecyeon?”

“Pulang dari Boston dia berubah ya!”

“Hei, itu si cupu kan?”

“Gila, keren banget!”

 “Ganteng banget dia sekarang!”

Bisik-bisik mulai terdengar bersahutan, aku jengah. Kuputuskan untuk pergi keluar sebentar, sepertinya aku butuh udara segar.

“Jieun, aku ke toilet sebentar ya,” pamitku.

“Ah ya, tak perlu ditemani kan?” tanyanya.

“Tak usah,” jawabku sambil beranjak pergi. Aku melirik ke arah Taecyeon yang sudah dikerubungi banyak orang. Tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Cepat-cepat kualihkan pandangan dan keluar dari ruangan ini.

***

Haaah….

Aku menghela napas panjang. Ada apa denganku? Bukankah harusnya aku senang dapat kembali bertemu dengannya? Tapi kenapa hatiku malah gundah? Kukeluarkan fotoku dari saku dan kubaca berulang-ulang tulisan Taec disana. Apa maksud dari tulisannya ini?

“Hwa Ra!” Taecyeon tiba-tiba muncul dihadapanku. Wajahnya tampak cemas.

“Huah, aku kira kau kemana. Tadi aku melihat kau keluar, tapi sudah lama kau tak juga kembali. Ternyata kau malah asik duduk depan sini, kenapa nggak di dalam saja sih?”

“Kau mengkhawatirkan ku?” tanyaku balik.

“Tentu saja,” jawabnya sambil berjongkok dihadapanku. “Kenapa kau menghindar dariku?”

“Aku tak menghindar, aku hanya merasa… kau berubah. Aku hanya merasa jadi ada jarak diantara kita,” jawabku sambil menunduk.

Taecyeon menyentuh daguku dan mengangkat wajahku agar menatapnya.

“Aku tak berubah, aku masih tetap Taecyeon yang dulu. Taecyeon yang kau temui di belakang sekolah. Hanya penampilanku yang berubah, dan inilah yang merubah pandangan orang-orang. Percayalah, aku masih tetap seperti dulu,” jelasnya seraya tersenyum.

Senyuman itu, senyuman yang aku rindukan. Ya, dia memang tidak berubah.

“Kau masih menyimpan foto itu?” tanya Taec saat melihat foto ditanganku.

“Ah ini….”

“Pinjam sebentar.” Taec meraih foto ditanganku dan mengeluarkan pulpen dari sakunya. Selama beberapa saat ia menuliskan sesuatu dibalik foto itu. “Ini,” katanya sambil mengembalikan foto itu padaku.

“Ini?” aku terkejut membaca kata-kata tambahan yang baru saja ditulis oleh Taec.

“Dulu aku tak sempat mengatakannya secara langsung, dan kuharap sekarang belum terlambat,” Taec diam sebentar. “You are my first, would you be my last?” tanyanya.

Tanpa pikir panjang, kupeluk pria dihadapanku dan berbisik, “I love you, always and forever!

‘You are my first, I Love You, ALWAYS AND FOREVER – Taecyeon’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar