Kamis, 26 Januari 2012

[Fan Fiction] Happy Birthday Junho!

Happy Birthday Junho! (Sumber dari sini)

Happy Birthday Junho!
Wafda S. Dzahabiyya

23 Januari

Oppa!”

Seorang gadis mungil berlari sambil melambaikan tangannya ke arah segerombolan pria ditepi lapangan basket.

“Hwa Ra!” Nichkhun yang paling dulu menyadari kedatangan gadis itu pun ikut melambaikan tangannya.

Gadis itu, Shin Hwa Ra, seorang gadis mungil yang imut dan cantik. Tak akan ada yang menyangka jika gadis itu sebenarnya telah duduk di bangku kuliah tingkat dua. Gadis itu merupakan sahabat Junho sejak kecil. Karena itulah dia akrab dengan semua member 2PM.

“Hei, bagaimana kau tahu kami sedang berkumpul disini?” tanya seorang pria lain yang memiliki badan paling tinggi besar, Taecyeon.

“Ah, Junho oppa yang memberitahuku. Dia menyuruhku datang dan membawakan camilan untuk kalian,” kata Hwa Ra sambil mengeluarkan kotak-kotak makanan yang dibawanya.

“Pantas dari tadi aku mencium bau makanan,” ujar Chansung sambil mengendus kotak-kotak yang dikelurkan Hwa Ra.

“Kau ini memangnya anjing?!” Wooyoung menjitak kepala Chansung yang membuat pria itu meringis kesakitan.

“Uyoung-ah! Kejamnya kau padaku.” Chansung tampak mengusap kepalanya yang terkena jitakan Wooyoung.

“Hahaha,” Hwa Ra tertawa melihat tingkah dua orang yang memang tak pernah bisa rukun ini. “ngomong-ngomong, Junho oppa kemana?” tanyanya yang baru menyadari kalau Junho tidak ada diantara yang lain.

“Ah, tadi ada seorang gadis yang datang kemari dan bertemu dengannya,” jelas Minjun.

“Ini sudah yang kesepuluh kalinya di bulan ini. Kau kalah hyung!” kata Wooyoung sambil menepuk pundak Taecyeon dengan ekspresi prihatin dan langsung dibalas dengan pelototan oleh Taec.

“Apa maksudnya sih oppa?” tanya Hwa Ra tidak mengerti.

“Nah, itu Junho kembali, tanyakan saja padanya.” Nichkhun menunjuk kearah Junho yang sedang berjalan menghampiri mereka dengan wajah kesal.

“Junho-ya, ada apa? Ada gadis yang menyatakan cinta padamu kenapa kau malah kesal?” tanya Taec sambil merangkul Junho.

“Bagaimana tidak kesal? Dia itu memaksa!” Junho masih memasang wajah kesalnya. “Sudah kubilang aku tidak bisa jadi pacarnya, eh dia malah memaksa dan ngotot memintaku jadi pacarnya sampai besok lusa!”

“Besok lusa?” tanya yang lain heran.

“Iya! Ah, Hwa Ra, kau sudah disini?” Junho langsung tampak senang begitu menyadari kehadiran sahabatnya itu.

Oppa, besok lusa itu kan...”

“Argh...!” kata-kata Hwa Ra seketika terpotong oleh teriakan Wooyoung. “Hyung! Kenapa kau menginjak kakiku?!”

“Hehe, aku tak sengaja Wooyoung-ah....” kata Nichkhun dengan wajah tak berdosa.

“Kalian ini kenapa sih?” tanya Junho heran. “Memangnya besok lusa hari apa, Hwa Ra?”

“Besok lusa...”

“Hari rabu!” potong Minjun sambil merangkul bahu Hwa Ra. “Iya kan Hwa Ra?”

“Ah, i... iya...” Hwa Ra tampak sedikit kebingungan.

“Ah, Hwa Ra, setelah ini kau akan langsung pulang kan? Bagaimana kalau aku yang mengantarmu pulang?” tawar Minjun.

“Tapi oppa...”

“Biar aku saja yang mengantarnya Hyung!” kata Junho.

“Tidak apa-apa. Lagipula ada yang ingin aku bicarakan dengan Hwa Ra. Ya?” Minjun menatap Hwa sambil mengedipkan sebelah matanya. Hal tersebut membuat gadis itu secara otomatis mengangguk.

“Nah, ayo Hwa Ra!” Minjun menarik tangan Hwa Ra lembut, meninggalkan member 2PM lainnya.

Junho menatap kepergian mereka berdua dengan pandangan yang tidak bisa didefinisikan.

“Junho-ya,” Nichkhun merangkul Junho, “benar kata Minjun-hyung, lebih baik dia yang mengantar Hwa Ra pulang. Karena kalau kau pergi, kau tidak akan kebagian makanan yang dibawakan Hwa Ra,” kata Nichkhun sambil melirik Taecyeon dan Chansung yang tengah berebut makanan.

“Aaah, kalian! Jangan dihabiskan!”

Sementara itu...

Oppa, ada apa sebenarnya?” tanya Hwa Ra saat dia sudah berada di boncengan motor Minjun.

“Ah, sebenarnya kami...”

***

24 Januari

“Sial! Kenapa tidak ada yang bisa dihubungi?!” Junho menatap HPnya kesal. sedari pagi dia sudah mencoba menghubungi member 2PM yang lain, tapi semuanya bagaikan menghilang.

“Ah, lebih baik aku hubungi Hwa Ra dan ajak dia jalan berdua!” pikir Junho sambil menekan nomor-nomor yang sudah dihapalnya diluar kepala.

Cukup lama Junho menunggu telponnya diangkat, sampai... “Nomor yang anda tuju sedang sibuk, atau berada diluar jangkauan service area, cobalah beberapa saat lagi”

“kenapa Hwa Ra juga tidak bisa dihubungi?!” Junho kembali menatap HPnya dengan kesal.

“Ya sudahlah, lebih baik aku jalan-jalan sendiri saja.” gumam Junho.

***

Sudah lebih dari 60menit Junho berjalan sendirian menyusuri toko-toko yang ada di sebuah mall di pusat kota seoul. Dia sebenarnya tidak ada niat sama sekali untuk berbelanja. Dia hanya ingin jalan-jalan untuk melepaskan gundah yang entah kenapa menyelimutinya sejak tadi.

Satu persatu toko dilewatinya tanpa ada niat sedikitpun untuk masuk, sampai...

“Tunggu, tadi itu...” Junho kembali ke depan toko yang baru saja dilewatinya untuk memastikan apakah yang dilihatnya sekilas tadi itu benar.

Yak, yang dilihatnya tadi memang benar. Itu Minjun-hyung dan... Hwa Ra!

Junho menatap keduanya yang sedang berbelanja dengan mesra. Hwa Ra tampak memasangkan topi yang ada di toko itu pada Minjun, kemudian Minjun bergaya dan mereka berdua pun tertawa. Paling tidak seperti itulah yang dilihat oleh Junho.

Junho tak tahan lagi, dia pun pergi dari sana dengan hati yang kesal. Dia cemburu?

***

25 Januari

Junho merasakan silau sinar matahari mengenai matanya. Junho berusaha melihat siapa sebenarnya yang berani-berani mengganggu tidurnya.

“Minjun-hyung?” Junho terkejut mendapati Minjun tengah berdiri di depan jendela kamarnya sambil melihat keluar.

“Kau sudah bangun rupanya?” tanya Minjun sambil tersenyum ke arah Junho.

Junho yang teringat akan kejadian yang dilihatnya kemarin kembali merasa kesal. dia kembali tidur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

“hei, bangun pemalas!” seru Minjun sambil berusaha menarik selimut yang menutupi tubuh junho.

“Aaaah!” Junho membuka selimut yang menutup wajahnya dan menatap Minjun, “Hyung, kemana kau kemarin?”

“kemarin? Memang kenapa?”

Junho menatap mata Minjun lekat-lekat sebelum berkata, “Tidak!” dan kembali menutupi kepalanya dengan selimut.

“Hei, ada apa denganmu? Ayo, bangun!” Minjun kembali mencoba menarik paksa selimut Junho.

Hyung! Pergilah, aku ingin sendiri!” kata Junho setengah membentak.

“Oh, oke baiklah!” Minjun pun mengalah dan keluar dari kamar Junho.

Perlahan Minjun menutup pintu kamar Junho, setelah itu ia mengambil HP dari saku celananya dan menelepon seseorang. “Kau benar, dia melihatnya. Kita ubah rencana!”

***

Saengil chukhahamnida, saengil chukhahamnida, saengil chukhahamnida.

Junho langsung terduduk begitu mendengar bunyi HPnya itu. Itukan alarm yang dipasang oleh Hwa Ra sebagai tanda ulang tahunnya! Tunggu, kalau begitu hari ini?!

Junho langsung menyambar HPnya dan mendapati tulisan berkedip-kedip dilayarnya:

Saengil chukhahamnida, Oppa! ^^

Junho tersenyum dan mematikan alarmnya. Tapi tunggu, kenapa tidak ada sms atau telpon masuk yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya? Apa semuanya lupa?

Junho langsung mencoba menghubungi member 2PM yang lain, tapi sama seperti kemarin, semua tak ada yang bisa dihubungi. “Hwa Ra juga tak bisa dihubungi. Masa aku harus menelepon Minjun-hyung?” gumam Junho. Dia memang masih sebal dengan hyung-nya yang satu itu.

“Ya sudahlah...” Junho pun memutuskan untuk menelpon Minjun.

“Hallo?”

Hyung? Oh, hyung! Maafkan aku tadi! Ada apa kau datang ke rumahku?”

“Ah, tidak. Hanya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

“Hah? Apa itu?”

“Tentang Hwa Ra.”

“Hwa Ra? Memang ada apa?” Seketika junho lupa tujuannya untuk menelepon Minjun.

“Ah, tak enak membicarakannya ditelpon. Bagaimana kalau kita bertemu? Kutunggu kau satu jam lagi di cafe biasa ya! Sampai jumpa!”

Tut tut tut...

Hyung! Ah dia langsung menutup telponnya. Apa sebenarnya yang ingin dia bicarakan?”

***

“Junho-ya! Kau sudah lama menunggu?” tanya Minjun sambil duduk berhadapan dengan Junho di sebuah cafe tempat mereka biasa berkumpul dengan member 2PM lainnya.

“Minjun-hyung! Apa sebenarnya yang ingin kau bicarakan?” tanya Junho langsung.

“Ah, itu!” Minjun tidak langsung menjawab, ia malah mengambil cangkir kopi milik Junho dan meminumnya.

“Kau tahu? Sepertinya aku tertarik pada Hwa Ra,” kata Minjun sambil tersenyum dan meletakkan kembali cangkir kopi tersebut.

“Apa?!” tanya junho setengah berteriak. “Hyung, kau tahu kan kalau aku....”

“Ya, aku tahu,” potong Minjun. “Tapi kulihat kau tidak pernah maju selangkah pun. Karena itu, aku berniat mengajaknya berpacaran.”

“Tapi hyung, kau tidak bisa begini!”

“Kenapa? Kau bukan siapa-siapanya kan? Kau hanya sekedar teman masa kecilnya, Junho-ya!”

“Tapi....”

“Sudahlah, aku harus pergi. Hwa Ra pasti sudah menungguku,” potong Minjun sambil bangkit dari duduknya. “Oh,ya aku berencana untuk menyatakan perasaanku padanya nanti malam,” tambahnya sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya pada Junho sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan pria itu.

Hyung!” Junho menatap kepergian Minjun dengan perasaan campur aduk. Digebraknya meja dihadapannya dengan kesal.

***

Seharian ini Junho terus membuntuti kemanapun Minjun dan Hwa Ra pergi. Tapi ternyata membuntuti orang yang sedang kencan itu sungguh tidak menyenangkan. Berkali-kali Junho harus menahan amarahnya karena cemburu melihat kemesraan Minjun dan Hwa Ra.

Junho masih terus membuntuti mereka berdua sampai akhirnya mobil Minjun berhenti.

“Mau apa mereka malam-malam begini di rumah Minjun-hyung?” gumam Junho sambil menghentikan motornya tak jauh dari tempat mobil Minjun berhenti. Tampak olehnya Minjun turun dan membukakan pintu mobil untuk Hwa Ra. Hati Junho kembali panas saat melihat Minjun mencium pipi Hwa Ra.

Hyung! Awas saja kau!” geram Junho sambil memukul stang motornya.

***

Sudah 15menit Junho menunggu sambil mondar-mandir di dekat motornya. Berkali-kali ia melirik jam dipergelangan tangannya. Sampai...

“AAAH!!”

“Hwa Ra?!” Junho tersentak mendengar teriakan keras Hwa Ra dari dalam rumah Minjun. Tanpa pikir panjang pria itu langsung berlari masuk ke dalam rumah besar tersebut.

“Hwa Ra?!” panggil Junho begitu berada di dalam rumah Minjun. “Cih, kenapa disini gelap sekali?!”

“Hwa Ra?! Kau dimana?!” panggil Junho lagi sambil terus memasuki rumah tersebut. “Shin Hwa Ra!!”

Trek...

Tiba-tiba lampu diruangan itu menyala, dan...

Saengil chukhahamnida, Junho!”

Junho terkejut mendapati semua member 2PM sudah ada dihadapannya. “Ka... kalian?”

“Hahaha, dia terkejut! Kita berhasil!” seru Taecyeon yang disambut oleh gelak tawa member lainnya.

“Kalian! Eh, mana Hwa Ra? Kenapa tadi dia berteriak kencang sekali?” tanya Junho.

“Ah itu karena ulah Taecyeon, dia mengagetkan Hwa Ra agar gadis itu berteriak dan kau masuk kemari. Dan Hwa Ra, dia dibelakangmu,” tunjuk Minjun.

Junho berbalik dan mendapati gadis tersebut berdiri beberapa langkah didepannya sambil membawa kue ulang tahun.

Saengil chukhahamnida, oppa!” seru Hwa Ra sambil tersenyum manis.

“Pasti kalian yang merencanakan ini kan?” tanya Junho sambil melotot pada semua member 2PM yang telah berdiri disampingnya.

“Iya oppa! Minjun oppa yang memberitahuku rencana ini saat dia mengantarku pulang kemarin lusa,” jelas Hwa Ra.

Hyung?” tanya Junho sambil melotot kearah Minjun.

“Tapi Taecyeon yang merencanakan semuanya!” tunjuk Minjun pada Taecyeon.

“Eh, tapikan rencana kedua ini bikinanmu, hyung!” Taecyeon balik menunjuk.

“Rencana kedua?” tanya Junho bingung.

“Yap, rencana awal kami sebenarnya bukan begini!” kata Wooyoung. “Kami sengaja merubah rencana tersebut saat kami tahu kau melihat Minjun-hyung dan Hwa Ra di mall kemarin. Tampaknya kau tidak menyadari kalau kami juga ada di sana.”

“Begitulah, kami mengubah rencana sebelumnya. Dan rencana kedua kami adalah, membuatmu cemburu pada Minjun-hyung!” tambah Chansung sambil tertawa meledek.

“Apa?! Jadi, yang tadi pagi itu?” Junho menatap Minjun bingung.

“Tentu saja aku bercanda! Mana mungkin aku merebutnya darimu!” kata Minjun sambil melirik Hwa Ra yang tampaknya sedikit tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan.

“Tunggu, apa maksudnya sih? Memang apa yang Minjun Oppa katakan tadi pagi? Lalu apa sebenarnya yang membuat Junho Oppa cemburu? Aah, aku tidak mengerti rencana kedua ini!” seru Hwa Ra kebingungan. Sejak awal mereka memang tidak mau menceritakan secara jelas mengenai rencana kedua ini padanya. Dia hanya disuruh untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Minjun.

“Nah, Junho-ya, kau harus mengatakannya sekarang!” kata Minjun sambil menepuk bahu Junho. “Atau kau ingin aku melakukan apa yang kukatakan tadi pagi?” tambahnya sambil tersenyum menggoda.

“Ah tidak, Hyung!”

“Kalau begitu lakukanlah!” seru Minjun sambil mendorong Junho maju ke arah Hwa Ra.

“Ada apa sih Oppa?” tanya Hwa Ra penasaran.

Junho tampak menarik napasnya sebentar sebelum akhirnya bicara, “Sebenarnya Hwa Ra, aku menyukaimu, lebih dari sekedar teman masa kecil. Maukah kau jadi pacarku?”

Hwa Ra terdiam, tampaknya dia baru mengerti maksud dari rencana kedua ini.

“Taruhan kue ulang tahunnya Junho kalau dia ditolak!” bisik Taecyeon kejam.

Hyung! Kau tidak boleh begitu!” balas Chansung sambil ikut berbisik. “Aku bertaruh, dia diterima!”

“Kalian ini!” bisik Nichkhun geram sambil menjitak kepala dua orang yang isinya hanya makanan ini.

“Hwa Ra?” tanya Junho saat melihat gadis itu masih terus diam.

“Eh, Oppa, sebenarnya...” Hwa Ra diam sejenak. “Sebenarnya aku juga menyukaimu lebih dari sekedar teman masa kecil. Kau sudah seperti sahabat, kakak, dan kau... cinta pertamaku”

“Jadi?”

Hwa Ra maju menghampiri Junho dan berbisik, “Aku mau jadi pacarmu Oppa!” kemudian diciumnya pipi Junho lembut dan...

Plakk...

Saengil chukhahamnida, Oppa!” teriak Hwa Ra sambil tertawa dan berlari meninggalkan Junho yang sudah berlumuran kue.

“Shin Hwa Ra!” Junho berteriak dan mengejar Hwa Ra.

Sementara itu...

“Kuenya!” Taecyeon dan Chansung tengah meratapi sisa-sisa kue yang berserakan di lantai.

***

Dimuat dalam buku Best Fanfiction Korea diterbitkan oleh wahyumedia

Rabu, 11 Januari 2012

[Short Story] Kita yang Tak Sama


“Jujur, Agni suka sama Io. Io baik, lembut, perhatian, pintar, bahkan Io ganteng, tapi…,” Agni terdiam sebentar dan menarik napas, “sayangnya kita berbeda.”
(Cognitive Dissonance Theory)

Kita yang Tak Sama
Wafda S. Dzahabiyya

Agni menatap pantulan wajahnya di cermin lalu menggigit bibirnya pelan. Sekuat tenaga ia berusaha menahan agar air matanya tidak tumpah. Memorinya kembali berputar, kembali kemasa dua tahun yang lalu. Ya, semua berawal dari sana, dari pernyataan cinta Rio dua tahun yang lalu.

***

“Kalau kita pacaran gimana ya Ag?”

Seketika Agni menatap Rio heran. Bagaimana tidak, rasanya tadi mereka berdua tengah membicarakan rapat pengurus untuk besok, kenapa tiba-tiba Rio bertanya seperti itu?

“Ga nyambung deh Io, kita lagi ngomongin rapat buat besok nih,” kata Agni sambil kembali menekuni pekerjaannya.

“Iya tahu, tapi jawab dulu dong Ag.”

“Apanya yang harus dijawab? Io pasti cuma mau godain Agni doang kan?” kata Agni dengan nada jutek. Dirinya memang sudah berkali-kali diisengi Rio seperti itu.

“Kalau serius gimana?”

Agni kembali menatap Rio. Kali ini Rio tengah menatapnya dengan pandangan serius. Rio benar-benar tidak bercanda.

“Io beneran serius?”

“Memangnya aku bisa bercanda untuk urusan seperti ini?”

“Bisa,” jawab Agni cuek.

“Kali ini aku beneran serius Agni. Jadi jawab dong.”

Agni tampak berpikir sebentar lalu berkata, “Ya ga gimana-gimana.”

“Hah?!”

“Loh, tadi kan Io nanya, ‘Kalau kita pacaran gimana ya Ag?’ ya ga gimana-gimana. Toh Io tadi ga nembak Agni kan?”

Rio tampak menghela napas pelan. “Kalau gitu aku ganti deh pertanyaannya. Agni mau ga jadi pacar Rio?”

Agni baru saja akan tertawa mendengar perkataan Rio barusan, tapi seketika diurungkannya saat melihat keseriusan yang terpancar dari wajah pemuda itu. Tak ada senyum jahil yang tampak seperti saat setiap kali Rio menggodanya. Agni berusaha menyamankan duduknya dan ikut menatap Rio.

“Agni boleh jujur?”

Agni melanjutkan perkataannya saat melihat Rio mengangguk, “Jujur, Agni suka sama Io. Io baik, lembut, perhatian, pintar, bahkan Io ganteng, tapi…,” Agni terdiam sebentar dan menarik napas, “sayangnya kita berbeda.”

“Maksudmu, soal kepercayaan?”

“Iya.” Agni menjawab pelan sambil menunduk.

“Aku juga tahu itu Ag, tapi tak bisakah kita mencoba dulu?”

“Io tahu sendiri bagaimana keluarga Agni. Begitu juga keluarga Io. Mereka pasti tak senang jika kita pacaran,” ujar Agni sambil mengangkat wajahnya. Tampak jelas di matanya bahwa Rio sedang menatapnya penuh harap. “Lagi pula, apa kata teman-teman nanti?” tambahnya lagi sambil kembali menunduk.

Seketika keheningan tercipta diantara mereka. Sampai akhirnya...

“Gimana kalau kita backstreet aja?”

“Hah?!” Agni melotot mendengar usulan dari Rio.

Backstreet?

***

Dua tahun berlalu sejak Agni dan Rio resmi berpacaran. Ralat, resmi backstreet. Tidak ada rintangan yang berarti dalam hubungan mereka selama ini.

Hingga suatu hari…

“Assalamualaikum,” salam Agni sambil memasuki rumahnya.

“Waalaikumsalam. Kenapa baru pulang Ag?” balas ibunya.

“Loh, Ibu sama Bapak kenapa ada di ruang tamu? Tadi ada tamu ya?” Agni malah balik bertanya.

“Kamu tuh ya, kalau ditanya tuh jawab, bukannya malah balik nanya,” tegur bapaknya.

“Tadi kita ada tamu penting Ag. Mereka nungguin kamu loh. Tapi karena kelamaan mereka akhirnya pulang deh. Kalau saja ibu tahu kamu pulang sekarang, ibu minta mereka tunggu sebentar lagi.”

“Tamu penting? Nungguin Agni? Siapa bu?” tanya Agni penasaran. Ia pun ikut duduk di samping ibunya.

“Itu loh, calon tunangan kamu.”

“Hah?! Apa bu? Calon tunangan?”

“Aduh, bapak aja deh yang jelasin!” Ibu terlihat serba salah.

“Pak, Bu, ada apa sebenarnya? Calon tunangan apa? Jelasin Agni!” Agni tampak marah dan benar-benar kebingungan. Apa sebenarnya maksud orangtuanya ini?

“Kamu tenang dulu ya Ag,” kata Ibu sambil merangkul pundak Agni. Ditatapnya bapak seolah mengisyaratkan agar dia menceritakan semuanya pada Agni.

“Begini Agni, bapak dan ibu bermaksud menjodohkan kamu dengan anak teman bapak. Makanya bapak bermaksud mengenalkanmu pada mereka tadi. Eh, kamu malah pulang telat.”

“Dia anaknya baik kok Ag, ganteng, dan yang pasti dia soleh,” tambah Ibu.

“Kenapa Bapak sama Ibu ga nanya Agni dulu? Kenapa tiba-tiba gini sih?!” Agni berusaha menahan tangis yang hampir pecah.

“Kami kira kamu pasti setuju. Usiamu kan sudah cukup untuk memiliki pendamping, sebentar lagi kamu juga lulus kuliah. Lagipula kamu belum punya pacar kan?” tanya bapak.

Pacar? Ingin rasanya Agni berteriak kalau dia sebenarnya sudah punya pacar. Tapi apa yang akan dikatakan kedua orangtuanya nanti jika mengetahui siapa pacarnya.

“Agni? Kamu kenapa nangis sayang? Kamu ga setuju dengan perjodohan ini?” tanya Ibu panik sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi Agni.

Ya, tanpa disadari air mata telah mengalir deras di pipi Agni. Agni menangis, dia menangis dalam diam.

***

“Agni!” Rio berlari menghampiri Agni yang tengah duduk di salah satu bangku taman.

“Agni, kamu kenapa?” tanya Rio begitu sampai dihadapan Agni. Pemuda itu langsung berlutut dihadapan Agni, menyesuaikan tinggi badannya dengan gadis yang sedari tadi diam menunduk itu.

“Ag?” Perlahan Rio menyentuh kedua pipi Agni dan mengangkat wajah gadis itu. Betapa terkejutnya Rio saat melihat air mata yang mengalir deras dari kedua bola mata bening milik Agni. Pantas saja saat di telpon tadi suara Agni terdengar parau, tampaknya sudah lama Agni menangis. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sampai Agni memanggilnya ke taman malam-malam begini.

“Ada apa sebenarnya Ag?”

Cerita pun mengalir dari bibir mungil Agni sambil sesekali disertai isakan. Rio mendengarkan semuanya dalam diam. Dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

“Bapak dan Ibu bilang ada waktu sebulan untuk Agni mengenal calon tunangan Agni. Karena pertunangannya akan dilaksanakan sebulan lagi, tepat dihari ulang tahun Agni.” Agni mengakhiri ceritanya sambil menghapus air mata yang masih saja keluar dari matanya.

***

Sebulan berlalu, tak terasa besok adalah hari ulang tahun Agni, sekaligus hari pertunangannya dengan Iqbal—pemuda yang dijodohkan oleh orangtuanya.

Agni memandang undangan di tangannya. Satu-satunya undangan yang belum Agni serahkan. Undangan itu untuk Rio. Sudah sebulan Agni tak pernah mendapat kabar dari Rio. Ya, sejak pertemuan terakhir mereka di taman sebulan yang lalu, Rio bagaikan menghilang. Telpon dan SMS Agni selalu diabaikan. Begitu pula setiap Agni datang ke rumahnya, Rio tak pernah ada.

Tiba-tiba Agni bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tergantung di balik pintu. Ia berlari menuruni tangga rumahnya dan pergi keluar.

“Agni? Kamu mau kemana?!” teriak ibunya saat melihat Agni yang begitu terburu-buru pergi.

“Nganter undangan! Kemarin ada yang ketinggalan bu!” balas Agni sambil mulai menstater motornya. Sebentar kemudian dia sudah melaju, membelah keramaian malam.

***

Tok tok tok…

“Iya, sebentar!”

Agni mengalihkan pandangan ke garasi di rumah yang ia kunjungi itu. Garasi itu tampak kosong, yang artinya penghuni rumah ini sedang tidak ada di tempat.

“Mbak Agni?”

“Bi Sum.” Agni tersenyum pada wanita setengah baya yang kini berdiri dihadapannya.

“Asik sekali melamunnya. Sampai gak sadar kalau saya sudah bukakan pintu.” Bi Sum balas tersenyum. “Tapi mbak, mas Rio-nya belum pulang tuh,” tambah Bi Sum yang sepertinya menyadari maksud kedatangan Agni.

“Gak apa-apa bi, Agni Cuma mau nitip ini buat Rio,” Agni memberikan undangannya pada Bi Sum. “Bilang ke Rio, Agni tunggu kedatangannya.”

“Undangan apa ini mbak?” tanya Bi Sum sambil mengamati undangan yang diberikan Agni.

Agni hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. “Agni pamit dulu ya bi!”

“Loh, kenapa buru-buru mbak? Minum dulu yuk!”

“Udah malem bi, ga enak sama ibu dan bapak di rumah. Agni pulang ya bi, selamat malam.”

“Ah, iya hati-hati di jalan ya mbak!”

Agni melangkahkan kaki menuju motornya yang ia parkirkan di depan rumah Rio. Sebelum pergi Agni menyempatkan diri mengamati rumah itu, untuk terakhir kalinya.

Tanpa ia sadari ada orang yang tengah memandangnya dari balik tikungan jalan. Di dalam sebuah mobil mewah seseorang memandangnya rindu.

***

“Agni, ayo turun! Acaranya mau dimulai!” panggil ibu sambil mengetuk pintu kamar Agni.

Panggilan ibu itu menyadarkan Agni dari segala lamunannya tentang Rio. Agni menghela napas sebentar sebelum akhirnya menjawab, “iya, sebentar bu!”

Agni mengambil blackberry miliknya dan memutar sebuah voice note yang baru diterimanya tadi malam. Voice note dari Rio!

Agni memejamkan matanya, menghayati lagu yang dinyanyikan Rio di voice note itu. Sebuah lagu yang menggambarkan mereka berdua. Marcell, Peri Cintaku.

***

“Minum Ag.” Iqbal menyodorkan gelas berisi sirup pada Agni. Agni tersenyum dan mengambil gelas itu dari Iqbal. Acara pertunangan mereka telah berlangsung. Saat ini mereka berdua tengah berkeliling memberi salam pada tamu undangan. Jika bukan karena disuruh ibunya, Agni pasti tidak akan mau melakukan ini. Berpura-pura tersenyum ramah pada orang-orang yang sebagian besar tidak dikenalinya.

“Agni!”

Agni menoleh dan mendapati Tika dan Ana yang tengah melambaikan tangan mereka sembari berjalan kearahnya. Mereka berdua adalah sahabat Agni di kampus, sekaligus teman satu organisasinya. Sama seperti Rio. Rio? Agni menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat nama Rio kembali terlintas di benaknya.

“Agni, selamat ya!” Ana memeluk Agni erat.

Disampingnya Tika berdiri, tersenyum pada Agni dan Iqbal. “Selamat ya kawan! Ngomong-ngomong tadi Rio udah kesini ya Ag?”

“Hah?” Agni terkejut. Rio?

“Tadi kita lihat di luar. Waktu aku ajak masuk dia ga mau. Makanya aku kira tadi dia udah kesini dan mau pulang,” tambah Tika.

Rio? Rio disini? Dia datang?!

Tanpa pikir panjang Agni langsung berlari keluar. Tak dipedulikannya teriakan Iqbal yang berkali-kali memanggil namanya. Tak dipedulikannya pandangan orang-orang yang menatapnya heran. Bahkan Agni sudah tidak peduli lagi pada air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya. Yang ada dalam pikirannya hanya satu. Dia harus bertemu Rio!

***

“Rio!”

Rio tersenyum tipis saat melihat Agni keluar dan berlari ke arahnya. Agni berhenti tepat satu langkah di depan Rio. Agni menggigit bibirnya, berusaha menghentikan air matanya yang terus mengalir.

“Selamat ulang tahun Agni,” kata Rio sambil mengeluarkan kotak kecil berwarna ungu dari saku celananya. “Bukalah,” tambahnya sambil menyerahkan kotak itu pada Agni.

Agni menerimanya dan menatap Rio heran seolah bertanya ‘apa ini?’

“Itu hadiah ulang tahunmu,” kata Rio sambil kembali tersenyum tipis. “Maaf kalau tidak seberapa. Tadinya aku ingin memberimu cincin untuk ulang tahunmu tahun ini. Tapi tampaknya sudah ada yang mendahuluiku,” tambahnya sambil melirik cincin yang melingkar indah di jari manis Agni. Hal itu membuat Agni refleks memegang cincinnya dan menunduk, tak berani memandang mata Rio.

“Buka dong hadiahnya Ag. Masa dipegang doang.”

Ragu-ragu Agni membuka hadiah dari Rio. Sebuah kalung perak dengan bandul huruf A tersimpan rapi di dalam kotak tersebut. Agni kembali menggigit bibirnya dan menatap Rio. Pandangan mereka bertemu.

“Suka?” Agni mengangguk dan berusaha tersenyum menjawab pertanyaan Rio tersebut.

“Boleh aku pasangkan Ag?” Agni kembali mengangguk. Dia benar-benar sudah tidak sanggup berkata-kata.

Rio mengambil kalung tersebut dari kotaknya dan berdiri di belakang Agni. Dipasangkannya kalung itu dileher jenjang gadis di depannya.

Agni menggenggam bandul huruf A yang kini menggantung di lehernya itu. Pertahanannya jebol. Air matanya kembali mengalir.

“Jangan menangis lagi Ag, karena aku sudah tidak berhak menghapus air matamu,” kata Rio lirih saat kembali kehadapan Agni.

Perkataan Rio itu kembali membuat Agni menunduk dan buru-buru menghapus air matanya. “Kamu sudah dengar voice note dariku? Seperti kata lirik lagunya, aku akan pergi.”

“Pe, pergi?” Agni menatap Rio, terkejut.

“Ya, aku akan pergi dari hidupmu. Paling tidak sampai kita berdua bisa menghapuskan cinta ini dari hati kita.”

“Pe, pergi kemana?”

“Aku menerima tawaran untuk melanjutkan S2 ke Jerman. Tawarannya sudah lama, tapi aku baru menerimanya sebulan yang lalu. Mungkin aku pengecut karena lari darimu, tapi kurasa ini jalan terbaik untuk kita berdua.”

“Ka, kapan kau akan pergi?”

“Sekarang.”

“Apa?! Sekarang?”

“Iya. Programnya akan dimulai dua minggu lagi jadi aku harus buru-buru pergi. Selama sebulan ini aku sibuk mengurus kepindahanku, maaf kalau aku tak sempat menghubungimu. Tadinya aku juga tidak akan datang kesini. Tapi aku pasti akan jadi orang paling jahat di dunia kalau pergi dalam keadaan seperti ini.”

“Ah, sudah waktunya aku pergi,” kata Rio sambil melirik jam di pergelangan tangannya. “Selamat atas pertunanganmu, semoga kamu bahagia Ag.”

Baru saja Rio berbalik dan melangkah Agni langsung menahannya. Digenggamnya lengan pemuda itu dan berkata, “Agni sayang Io.”

Rio kembali berbalik. Ditatapnya gadis manis yang tengah menatapnya sambil tersenyum itu. Senyum sarat kesedihan.

“Terima kasih untuk dua tahun ini ya Io. Agni benar-benar bersyukur bisa mencintai Io. Io sudah mengajari Agni tentang arti cinta…” Agni terdiam sebentar, “dan arti perbedaan.”

“Aku juga tidak pernah menyesal sudah mencintaimu.” Kata Rio sambil mengelus pipi Agni lembut. “Tapi sekarang aku harus pergi. Dari hidupmu, dan dari hatimu.”

Agni menatap Rio yang melangkah memasuki mobilnya. Air matanya kembali mengalir saat melihat mobil itu melesat pergi, pergi membawa cintanya.

***

Dimuat dalam buku Hybrid Theory 0.1 diterbitkan oleh leutikaprio
Terinspirasi dari Teori Disonansi Kognitif dan lagu Marcell - Peri Cintaku