Rabu, 11 Januari 2012

[Short Story] Kita yang Tak Sama


“Jujur, Agni suka sama Io. Io baik, lembut, perhatian, pintar, bahkan Io ganteng, tapi…,” Agni terdiam sebentar dan menarik napas, “sayangnya kita berbeda.”
(Cognitive Dissonance Theory)

Kita yang Tak Sama
Wafda S. Dzahabiyya

Agni menatap pantulan wajahnya di cermin lalu menggigit bibirnya pelan. Sekuat tenaga ia berusaha menahan agar air matanya tidak tumpah. Memorinya kembali berputar, kembali kemasa dua tahun yang lalu. Ya, semua berawal dari sana, dari pernyataan cinta Rio dua tahun yang lalu.

***

“Kalau kita pacaran gimana ya Ag?”

Seketika Agni menatap Rio heran. Bagaimana tidak, rasanya tadi mereka berdua tengah membicarakan rapat pengurus untuk besok, kenapa tiba-tiba Rio bertanya seperti itu?

“Ga nyambung deh Io, kita lagi ngomongin rapat buat besok nih,” kata Agni sambil kembali menekuni pekerjaannya.

“Iya tahu, tapi jawab dulu dong Ag.”

“Apanya yang harus dijawab? Io pasti cuma mau godain Agni doang kan?” kata Agni dengan nada jutek. Dirinya memang sudah berkali-kali diisengi Rio seperti itu.

“Kalau serius gimana?”

Agni kembali menatap Rio. Kali ini Rio tengah menatapnya dengan pandangan serius. Rio benar-benar tidak bercanda.

“Io beneran serius?”

“Memangnya aku bisa bercanda untuk urusan seperti ini?”

“Bisa,” jawab Agni cuek.

“Kali ini aku beneran serius Agni. Jadi jawab dong.”

Agni tampak berpikir sebentar lalu berkata, “Ya ga gimana-gimana.”

“Hah?!”

“Loh, tadi kan Io nanya, ‘Kalau kita pacaran gimana ya Ag?’ ya ga gimana-gimana. Toh Io tadi ga nembak Agni kan?”

Rio tampak menghela napas pelan. “Kalau gitu aku ganti deh pertanyaannya. Agni mau ga jadi pacar Rio?”

Agni baru saja akan tertawa mendengar perkataan Rio barusan, tapi seketika diurungkannya saat melihat keseriusan yang terpancar dari wajah pemuda itu. Tak ada senyum jahil yang tampak seperti saat setiap kali Rio menggodanya. Agni berusaha menyamankan duduknya dan ikut menatap Rio.

“Agni boleh jujur?”

Agni melanjutkan perkataannya saat melihat Rio mengangguk, “Jujur, Agni suka sama Io. Io baik, lembut, perhatian, pintar, bahkan Io ganteng, tapi…,” Agni terdiam sebentar dan menarik napas, “sayangnya kita berbeda.”

“Maksudmu, soal kepercayaan?”

“Iya.” Agni menjawab pelan sambil menunduk.

“Aku juga tahu itu Ag, tapi tak bisakah kita mencoba dulu?”

“Io tahu sendiri bagaimana keluarga Agni. Begitu juga keluarga Io. Mereka pasti tak senang jika kita pacaran,” ujar Agni sambil mengangkat wajahnya. Tampak jelas di matanya bahwa Rio sedang menatapnya penuh harap. “Lagi pula, apa kata teman-teman nanti?” tambahnya lagi sambil kembali menunduk.

Seketika keheningan tercipta diantara mereka. Sampai akhirnya...

“Gimana kalau kita backstreet aja?”

“Hah?!” Agni melotot mendengar usulan dari Rio.

Backstreet?

***

Dua tahun berlalu sejak Agni dan Rio resmi berpacaran. Ralat, resmi backstreet. Tidak ada rintangan yang berarti dalam hubungan mereka selama ini.

Hingga suatu hari…

“Assalamualaikum,” salam Agni sambil memasuki rumahnya.

“Waalaikumsalam. Kenapa baru pulang Ag?” balas ibunya.

“Loh, Ibu sama Bapak kenapa ada di ruang tamu? Tadi ada tamu ya?” Agni malah balik bertanya.

“Kamu tuh ya, kalau ditanya tuh jawab, bukannya malah balik nanya,” tegur bapaknya.

“Tadi kita ada tamu penting Ag. Mereka nungguin kamu loh. Tapi karena kelamaan mereka akhirnya pulang deh. Kalau saja ibu tahu kamu pulang sekarang, ibu minta mereka tunggu sebentar lagi.”

“Tamu penting? Nungguin Agni? Siapa bu?” tanya Agni penasaran. Ia pun ikut duduk di samping ibunya.

“Itu loh, calon tunangan kamu.”

“Hah?! Apa bu? Calon tunangan?”

“Aduh, bapak aja deh yang jelasin!” Ibu terlihat serba salah.

“Pak, Bu, ada apa sebenarnya? Calon tunangan apa? Jelasin Agni!” Agni tampak marah dan benar-benar kebingungan. Apa sebenarnya maksud orangtuanya ini?

“Kamu tenang dulu ya Ag,” kata Ibu sambil merangkul pundak Agni. Ditatapnya bapak seolah mengisyaratkan agar dia menceritakan semuanya pada Agni.

“Begini Agni, bapak dan ibu bermaksud menjodohkan kamu dengan anak teman bapak. Makanya bapak bermaksud mengenalkanmu pada mereka tadi. Eh, kamu malah pulang telat.”

“Dia anaknya baik kok Ag, ganteng, dan yang pasti dia soleh,” tambah Ibu.

“Kenapa Bapak sama Ibu ga nanya Agni dulu? Kenapa tiba-tiba gini sih?!” Agni berusaha menahan tangis yang hampir pecah.

“Kami kira kamu pasti setuju. Usiamu kan sudah cukup untuk memiliki pendamping, sebentar lagi kamu juga lulus kuliah. Lagipula kamu belum punya pacar kan?” tanya bapak.

Pacar? Ingin rasanya Agni berteriak kalau dia sebenarnya sudah punya pacar. Tapi apa yang akan dikatakan kedua orangtuanya nanti jika mengetahui siapa pacarnya.

“Agni? Kamu kenapa nangis sayang? Kamu ga setuju dengan perjodohan ini?” tanya Ibu panik sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi Agni.

Ya, tanpa disadari air mata telah mengalir deras di pipi Agni. Agni menangis, dia menangis dalam diam.

***

“Agni!” Rio berlari menghampiri Agni yang tengah duduk di salah satu bangku taman.

“Agni, kamu kenapa?” tanya Rio begitu sampai dihadapan Agni. Pemuda itu langsung berlutut dihadapan Agni, menyesuaikan tinggi badannya dengan gadis yang sedari tadi diam menunduk itu.

“Ag?” Perlahan Rio menyentuh kedua pipi Agni dan mengangkat wajah gadis itu. Betapa terkejutnya Rio saat melihat air mata yang mengalir deras dari kedua bola mata bening milik Agni. Pantas saja saat di telpon tadi suara Agni terdengar parau, tampaknya sudah lama Agni menangis. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sampai Agni memanggilnya ke taman malam-malam begini.

“Ada apa sebenarnya Ag?”

Cerita pun mengalir dari bibir mungil Agni sambil sesekali disertai isakan. Rio mendengarkan semuanya dalam diam. Dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

“Bapak dan Ibu bilang ada waktu sebulan untuk Agni mengenal calon tunangan Agni. Karena pertunangannya akan dilaksanakan sebulan lagi, tepat dihari ulang tahun Agni.” Agni mengakhiri ceritanya sambil menghapus air mata yang masih saja keluar dari matanya.

***

Sebulan berlalu, tak terasa besok adalah hari ulang tahun Agni, sekaligus hari pertunangannya dengan Iqbal—pemuda yang dijodohkan oleh orangtuanya.

Agni memandang undangan di tangannya. Satu-satunya undangan yang belum Agni serahkan. Undangan itu untuk Rio. Sudah sebulan Agni tak pernah mendapat kabar dari Rio. Ya, sejak pertemuan terakhir mereka di taman sebulan yang lalu, Rio bagaikan menghilang. Telpon dan SMS Agni selalu diabaikan. Begitu pula setiap Agni datang ke rumahnya, Rio tak pernah ada.

Tiba-tiba Agni bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tergantung di balik pintu. Ia berlari menuruni tangga rumahnya dan pergi keluar.

“Agni? Kamu mau kemana?!” teriak ibunya saat melihat Agni yang begitu terburu-buru pergi.

“Nganter undangan! Kemarin ada yang ketinggalan bu!” balas Agni sambil mulai menstater motornya. Sebentar kemudian dia sudah melaju, membelah keramaian malam.

***

Tok tok tok…

“Iya, sebentar!”

Agni mengalihkan pandangan ke garasi di rumah yang ia kunjungi itu. Garasi itu tampak kosong, yang artinya penghuni rumah ini sedang tidak ada di tempat.

“Mbak Agni?”

“Bi Sum.” Agni tersenyum pada wanita setengah baya yang kini berdiri dihadapannya.

“Asik sekali melamunnya. Sampai gak sadar kalau saya sudah bukakan pintu.” Bi Sum balas tersenyum. “Tapi mbak, mas Rio-nya belum pulang tuh,” tambah Bi Sum yang sepertinya menyadari maksud kedatangan Agni.

“Gak apa-apa bi, Agni Cuma mau nitip ini buat Rio,” Agni memberikan undangannya pada Bi Sum. “Bilang ke Rio, Agni tunggu kedatangannya.”

“Undangan apa ini mbak?” tanya Bi Sum sambil mengamati undangan yang diberikan Agni.

Agni hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. “Agni pamit dulu ya bi!”

“Loh, kenapa buru-buru mbak? Minum dulu yuk!”

“Udah malem bi, ga enak sama ibu dan bapak di rumah. Agni pulang ya bi, selamat malam.”

“Ah, iya hati-hati di jalan ya mbak!”

Agni melangkahkan kaki menuju motornya yang ia parkirkan di depan rumah Rio. Sebelum pergi Agni menyempatkan diri mengamati rumah itu, untuk terakhir kalinya.

Tanpa ia sadari ada orang yang tengah memandangnya dari balik tikungan jalan. Di dalam sebuah mobil mewah seseorang memandangnya rindu.

***

“Agni, ayo turun! Acaranya mau dimulai!” panggil ibu sambil mengetuk pintu kamar Agni.

Panggilan ibu itu menyadarkan Agni dari segala lamunannya tentang Rio. Agni menghela napas sebentar sebelum akhirnya menjawab, “iya, sebentar bu!”

Agni mengambil blackberry miliknya dan memutar sebuah voice note yang baru diterimanya tadi malam. Voice note dari Rio!

Agni memejamkan matanya, menghayati lagu yang dinyanyikan Rio di voice note itu. Sebuah lagu yang menggambarkan mereka berdua. Marcell, Peri Cintaku.

***

“Minum Ag.” Iqbal menyodorkan gelas berisi sirup pada Agni. Agni tersenyum dan mengambil gelas itu dari Iqbal. Acara pertunangan mereka telah berlangsung. Saat ini mereka berdua tengah berkeliling memberi salam pada tamu undangan. Jika bukan karena disuruh ibunya, Agni pasti tidak akan mau melakukan ini. Berpura-pura tersenyum ramah pada orang-orang yang sebagian besar tidak dikenalinya.

“Agni!”

Agni menoleh dan mendapati Tika dan Ana yang tengah melambaikan tangan mereka sembari berjalan kearahnya. Mereka berdua adalah sahabat Agni di kampus, sekaligus teman satu organisasinya. Sama seperti Rio. Rio? Agni menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat nama Rio kembali terlintas di benaknya.

“Agni, selamat ya!” Ana memeluk Agni erat.

Disampingnya Tika berdiri, tersenyum pada Agni dan Iqbal. “Selamat ya kawan! Ngomong-ngomong tadi Rio udah kesini ya Ag?”

“Hah?” Agni terkejut. Rio?

“Tadi kita lihat di luar. Waktu aku ajak masuk dia ga mau. Makanya aku kira tadi dia udah kesini dan mau pulang,” tambah Tika.

Rio? Rio disini? Dia datang?!

Tanpa pikir panjang Agni langsung berlari keluar. Tak dipedulikannya teriakan Iqbal yang berkali-kali memanggil namanya. Tak dipedulikannya pandangan orang-orang yang menatapnya heran. Bahkan Agni sudah tidak peduli lagi pada air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya. Yang ada dalam pikirannya hanya satu. Dia harus bertemu Rio!

***

“Rio!”

Rio tersenyum tipis saat melihat Agni keluar dan berlari ke arahnya. Agni berhenti tepat satu langkah di depan Rio. Agni menggigit bibirnya, berusaha menghentikan air matanya yang terus mengalir.

“Selamat ulang tahun Agni,” kata Rio sambil mengeluarkan kotak kecil berwarna ungu dari saku celananya. “Bukalah,” tambahnya sambil menyerahkan kotak itu pada Agni.

Agni menerimanya dan menatap Rio heran seolah bertanya ‘apa ini?’

“Itu hadiah ulang tahunmu,” kata Rio sambil kembali tersenyum tipis. “Maaf kalau tidak seberapa. Tadinya aku ingin memberimu cincin untuk ulang tahunmu tahun ini. Tapi tampaknya sudah ada yang mendahuluiku,” tambahnya sambil melirik cincin yang melingkar indah di jari manis Agni. Hal itu membuat Agni refleks memegang cincinnya dan menunduk, tak berani memandang mata Rio.

“Buka dong hadiahnya Ag. Masa dipegang doang.”

Ragu-ragu Agni membuka hadiah dari Rio. Sebuah kalung perak dengan bandul huruf A tersimpan rapi di dalam kotak tersebut. Agni kembali menggigit bibirnya dan menatap Rio. Pandangan mereka bertemu.

“Suka?” Agni mengangguk dan berusaha tersenyum menjawab pertanyaan Rio tersebut.

“Boleh aku pasangkan Ag?” Agni kembali mengangguk. Dia benar-benar sudah tidak sanggup berkata-kata.

Rio mengambil kalung tersebut dari kotaknya dan berdiri di belakang Agni. Dipasangkannya kalung itu dileher jenjang gadis di depannya.

Agni menggenggam bandul huruf A yang kini menggantung di lehernya itu. Pertahanannya jebol. Air matanya kembali mengalir.

“Jangan menangis lagi Ag, karena aku sudah tidak berhak menghapus air matamu,” kata Rio lirih saat kembali kehadapan Agni.

Perkataan Rio itu kembali membuat Agni menunduk dan buru-buru menghapus air matanya. “Kamu sudah dengar voice note dariku? Seperti kata lirik lagunya, aku akan pergi.”

“Pe, pergi?” Agni menatap Rio, terkejut.

“Ya, aku akan pergi dari hidupmu. Paling tidak sampai kita berdua bisa menghapuskan cinta ini dari hati kita.”

“Pe, pergi kemana?”

“Aku menerima tawaran untuk melanjutkan S2 ke Jerman. Tawarannya sudah lama, tapi aku baru menerimanya sebulan yang lalu. Mungkin aku pengecut karena lari darimu, tapi kurasa ini jalan terbaik untuk kita berdua.”

“Ka, kapan kau akan pergi?”

“Sekarang.”

“Apa?! Sekarang?”

“Iya. Programnya akan dimulai dua minggu lagi jadi aku harus buru-buru pergi. Selama sebulan ini aku sibuk mengurus kepindahanku, maaf kalau aku tak sempat menghubungimu. Tadinya aku juga tidak akan datang kesini. Tapi aku pasti akan jadi orang paling jahat di dunia kalau pergi dalam keadaan seperti ini.”

“Ah, sudah waktunya aku pergi,” kata Rio sambil melirik jam di pergelangan tangannya. “Selamat atas pertunanganmu, semoga kamu bahagia Ag.”

Baru saja Rio berbalik dan melangkah Agni langsung menahannya. Digenggamnya lengan pemuda itu dan berkata, “Agni sayang Io.”

Rio kembali berbalik. Ditatapnya gadis manis yang tengah menatapnya sambil tersenyum itu. Senyum sarat kesedihan.

“Terima kasih untuk dua tahun ini ya Io. Agni benar-benar bersyukur bisa mencintai Io. Io sudah mengajari Agni tentang arti cinta…” Agni terdiam sebentar, “dan arti perbedaan.”

“Aku juga tidak pernah menyesal sudah mencintaimu.” Kata Rio sambil mengelus pipi Agni lembut. “Tapi sekarang aku harus pergi. Dari hidupmu, dan dari hatimu.”

Agni menatap Rio yang melangkah memasuki mobilnya. Air matanya kembali mengalir saat melihat mobil itu melesat pergi, pergi membawa cintanya.

***

Dimuat dalam buku Hybrid Theory 0.1 diterbitkan oleh leutikaprio
Terinspirasi dari Teori Disonansi Kognitif dan lagu Marcell - Peri Cintaku

1 komentar: