Senin, 26 Maret 2012

[Fan Fiction] Asa

(Sumber dari sini)
 Asa
Wafda S. Dzahabiyya

“Lama tidak bertemu ya oppa?”

Aku terkejut mendengar sapaannya itu. Jangan-jangan dia.... Dia orang yang membuatku melamun seharian ini.... Dia cinta pertama yang tak pernah bisa kulupakan.... Dia cintaku.... Dia....

“Shi...Shin Hwa Ra?” tanyaku terbata.

Dan gadis itu kembali tersenyum kepadaku....

***

“Aku kembali ke Korea setahun yang lalu setelah menyelesaikan kuliahku. Entah kenapa aku merasa rindu Korea.”

Kutatap gadis yang kini duduk disebelahku. Senyuman tampaknya enggan meninggalkan wajah gadis itu. Senyuman yang kurindukan.

“Kau banyak berubah oppa,” kata Shin Hwa Ra pelan.

Aku tersentak. “Benarkah?”

“Ya, setiap kali aku melihatmu di TV atau internet, aku selalu merasa kau bukan lagi Taecyeon oppa yang ku kenal.” Ku lihat dia mendesah pelan. Meskipun begitu, bibirnya masih terus menyunggingkan senyum. Tidak, ini bukan senyuman yang kurindukan.

“Tapi aku senang kau masih mengingatku oppa. Dan aku bersyukur tampaknya kau sudah melupakan kisah kita dulu.”

Melupakan? Kau kira aku bisa melupakan semuanya setelah perpisahan kita itu?! Ingin rasanya aku berteriak begitu. Tapi entah kenapa rasanya mulutku kaku. Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi.

Oppa, kita masih teman kan?”

Teman?

“Sebenarnya aku ingin sekali menemuimu begitu aku kembali ke Korea, tapi aku takut. Aku takut kau membenciku.”

Aku menghela napas pelan. Tak mungkin aku dapat membencimu...

“Aku tidak membencimu, dan tak akan pernah. Aku sadar dulu aku yang egois. Maaf.” Kataku pelan setelah cukup lama kami saling terdiam.

“Kau tak salah oppa. Jika dulu aku ada diposisimu, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama.” Shin Hwa Ra kembali menatapku dengan senyumannya.

Tanpa kusadari, aku pun ikut tersenyum. Ingin rasanya aku memeluk gadis disampingku ini. Pertemuan ini sungguh mengejutkan, tapi aku menaruh harapan besar dari sini. Aku harap dengan pertemuan ini kami bisa kembali seperti dulu. Kembali menjadi teman, sahabat, saudara, dan....

Oppa!” lamunanku buyar mendengar panggilannya. “Kenapa melamun?”

“Ah, tidak....”

“Oh iya oppa, sebenarnya aku memang berniat menemuimu hari ini, ada sesuatu yang ingin kuberikan. Kebetulan sekali kita bertemu.”

“Memberikan apa?”

Kulihat dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Dia mengulurkan kertas berwarna ungu yang terlipat cantik itu padaku. Ragu-ragu aku menerimanya.

Deg...

Aku menatapnya. Mencoba memastikan apa yang kuterima ini tidak salah. Shin Hwa Ra tersenyum.

“Kau masih ingat impianku oppa? Impianku di usia yang ke 23 tahun. Dan kini impianku itu akan terwujud.”

Aku kembali membaca tulisan di kertas ungu itu. Semua harapanku ketika bertemu kembali dengannya seketika lenyap. Kertas ini, kertas undangan pernikahan Shin Hwa Ra. Ku tatap Shin Hwa Ra dan tersenyum, pahit...