Senin, 04 Juni 2012

[Short Story] UNO!

UNO! (sumber dari sini)

UNO!
Wafda S. Dzahabiyya

“Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Yaah, memang diambil dari kisah nyata, tapi dengan tambahan bumbu-bumbu agar lebih sedap. Mohon maaf jika ada kesamaan nama, karakter, ataupun tempat karena itu memang disengaja.”

H-59

“Jadi, ada yang punya ide untuk tema acara kita tahun ini?” tanya Mas Miftah setelah bercerita panjang lebar tentang tema acara tahun-tahun sebelumnya.

Semua orang di ruangan ini diam. Semua tampak berpikir, walaupun entah apa yang dipikirkan. Aku yang memang tidak kreatif untuk urusan memberi nama seperti ini memilih ikut bungkam.

“Ayolah, acara kita kurang dari 2 bulan lagi! Bahkan tema aja kita belum punya…,” sentak Mas Mif sedikit keras.

Huh, dia sendiri gak ngasih ide, batinku dalam hati. Ketua kami yang satu ini memang sedikit emosian, kadang-kadang jengkel juga menghadapinya. Semua tetap diam, masih sibuk berpikir.

Aku meraih tumpukan kartu uno dari atas meja di dekatku. “Main uno yuk!” cetusku iseng sambil mengocok kartu.

“Malah main uno!” bentak Mas Mif sambil membanting kertas yang dipegangnya.

“Widih, nyantai loh mas…. Kasian tuh pada tegang gitu,” sindirku.

“Uno, presenter, news reader, announcer, uno, hmm,” gumam Irfan yang duduk disebelahku. “Aha! UNOuncer! Gimana kalau temanya UNOuncer aja?!” teriaknya tiba-tiba.

Krik krik krik…. Semuanya diam, saling pandang.

“Apa maksudnya tuh tema UNOuncer itu?” tanya Anind akhirnya.

Irfan tersenyum, merasa kalau tema pemberiannya akan dipakai. “Uno kan artinya satu, lihat kartu uno ini, beda-beda kan?” katanya sambil merebut beberapa kartu dari tanganku. “Ini menggambarkan peserta Broadcaster Award yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Apalagi tahun ini kita sampai Jawa Timur juga, makin beragam dong peserta kita? Nah, walaupun mereka berbeda-beda, tapi mereka sama-sama berjuang untuk satu tujuan, jadi nomer satu! Uno!” jelasnya panjang lebar dan diakhiri dengan berteriak ‘uno!’ sambil membanting kartu-kartu ditangannya.

“Iya, iya… tapi ga usah pake acara ngeberantakin kartu bisa kan?” sindirku sambil membereskan kartu-kartu yang berserakan di depanku.

“Hahaha, piss nyu…” kata Irfan dengan tampang tak berdosa sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.

“Ada yang punya ide lain?” tanya Mas Mif. Anak-anak kompak menggeleng. Sepertinya semua sudah menyerah kalau harus mencari ide yang lain lagi.

“Oke, berarti semua setuju ya dengan UNOuncer? Kalau begitu diputuskan tema Broadcaster Award tahun ini UNOuncer!” kata Mas Mif memutuskan. Semua tepuk tangan, gembira karena rapat kali ini paling tidak membuahkan hasil walaupun cuma sebuah tema.

“Tuh kan, coba kalau aku ga iseng ngajak main uno… kita ga akan dapet tema deh sampe besok,” celetukku yang langsung disambut pelototan semua orang.

***

H-46

“Kita gabung sama CF!” kata Mas Mif membuka rapat hari ini.

Communication Fiesta, sebuah acara yang sebenarnya merupakan obsesi dari para pemegang kekuasaan di jurusan itu akhirnya benar-benar harus kita jalankan. Beberapa waktu yang lalu Mas Mif memang pernah bercerita kalau kemungkinan besar acara kita akan dimasukan dalam CF, bergabung bersama CEO yang ‘ditodong’ jurusan untuk mengadakan acara demi mengisi CF ini.

“Terus komentar para sesepuh gimana Mif?” tanya Mbak Nai hati-hati.

“Aku udah ceritain kondisi kita ke mereka. Waktu kita mepet, kita ga akan sempat kalau harus cari sponsor sendiri. Kalau kita gabung dengan CF, dana ditanggung aman. Jadi, mau ga mau mereka harus setuju,” jelasnya.

“CEO sendiri jadinya mau ngadain apa?” giliran Adi yang bertanya.

“Mereka udah fix mau ngadain lomba debat. Targetnya anak SMA se Jogja, Jateng, dan Jatim, sama kaya kita. Jadi surat untuk sekolah bisa kita kirim bareng-bareng. Data sekolah udah siap Dil?”

“Udah, yang mau dikirim udah siap, yang di jogja tinggal dibagi siapa yang mau nganter. Tapi kalau kita gabung sama CF berarti suratnya semua harus diganti,” jawab Dila, sang sekretaris, tanggap.

“Oh iya bener…. Proposal juga harus diganti. Kemaren aku udah minta sama Mas Sakti, ketua CEO, buat nyerahin proposal mereka. Jadi nanti tinggal digabung aja. Susunan panitianya juga, Mas Sakti setuju aku jadi ketua, tapi dia ditulis jadi sekretaris, bendaharanya tetep kamu ya Na? Biar nanti kita gampang kalau butuh uang.”

“Iya…” jawab Ana malas.

“Berarti yang ngerjain proposal dan surat segala macem itu Mas Sakti?” tanya Dila semangat.

“Tetep kamu Dil, itu cuma formalitas.”

“Heh, apa-apaan itu…” Dila mencoret-coret catatannya, tiba-tiba kehilangan semangat lagi.

“Nanti desain poster juga diganti ya Bay, nanti aku minta materi CEO. Sehari jadi bisa kan?”

Bayu cuma bisa ngangguk pasrah tanpa banyak komentar. Tumben dia manutan gitu.

“Blog, twitter, facebook gimana kabarnya Wafda?” waduh, aku kena juga akhirnya.

“Hmm, mereka baik…,” jawabku sok polos.

“Kalau poster diganti ya aku tinggal nunggu gantinya. Mekanisme masih tetep toh? Oh iya, paling surat delegasi tuh yang belum,” kataku buru-buru ketika melihat Mas Mif sudah siap mengamuk. “Kemaren udah ada beberapa yang nanya-nanya, langsung aku suruh hubungi contact person aja, Mbak Indah sama Mbak Desi.”

“Ndah, Des, gimana?”

“Iya Mif, kemaren udah ada yang nanya sama aku, dari Malang. Katanya dia mau nyari temen dulu,” lapor Mbak Indah.

“Kalau ke aku ada yang nanya tapi dia mahasiswa, mana ngotot lagi mau ikutan. Udah jelas lombanya buat anak SMA…” cerita Mbak Desi.

“Ya udah terima aja, tapi suruh dia pake baju SMA…” komentar Adi.

“Kita ga kekurangan peserta sampe segitunya kali Di…” kata Tika.

“Bener juga tuh, kalau kita kekurangan peserta, suruh aja unyu pake seragam SMA…. Pasti masih pantes, hahaha…” kali ini Irfan meledekku. Sial….

“Bilang aja kamu juga pengen dibilang masih pantes pake seragam SMA…. Sayangnya Fan, walaupun tinggi kita hampir sama, tapi mukamu udah ga pantes…” balasku sewot.

“Wah, itu dalem banget Fan…. Hahaha…” Adi tertawa puas. Diikuti dengan tawa yang lain.

***

H-31

“Mendekati acara kok malah pada jarang nongol, seksi acaranya juga ngilang ga bisa dihubungi…” omelku. “Lagian ya, aku ini kan seksi dokumentasi, kenapa juga harus ngurusin promosi di blog, twitter, facebook, dan segala macemnya itu.”

“Hahaha, masih mending lah Da…. Daripada Mbak Indah, segalanya dia yang ngurusin. Aku aja sampe ga tahu dia sebenernya seksi apa,” kata Tika.

“Iya ya, kasian juga Mbak Indah, mana sering banget kena omel Mas Mif…. Aduh, panitianya aja udah ga beres gini….”

“Iya nih, udahlah bubarin aja BA…. Biar aku bisa pulang ke Bengkulu!” sahut Tika sedikit ketus.

Saat ini kami berdua tengah duduk santai di lobi. Berusaha menghindari Ikom Radio biar ga kena amukan Mas Mif. Beberapa hari belakangan, sang ketua itu memang sering ngamuk gara-gara yang hadir di rapat makin lama makin berkurang. Siapa saja bisa jadi korban amukannya, tapi yang paling sering sih ya Mbak Indah.

“Bang Rustam!” teriak Tika memecahakn keheningan yang sempat tercipta diantara kami. Kulihat Bang Rustam muncul dari balik tangga.

“Hai!” sapanya sok cool.

“Abang, ayo ngomong sama anak magang soal bumper…” teriak Tika lagi sambil berlari menghampiri Bang Rustam.

Tika, Tika…. Omongan dan perbuatannya bertolak belakang. Katanya bubarin aja BA, tapi ternyata dia masih peduli tuh.
“Unyu, ngapain disini?!” tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik suara ini.

“Unyu, unyu, namaku bukan unyu!” kataku kesal.

“Hahaha, nyantai loh nyu….” Adi tertawa melihat reaksiku saat dipanggil Irfan tadi. Dua sekawan ini memang nyaris tak terpisahkan.

“Kok ga ke radio?” tanya Irfan.

“Males, takut kena amukan nyasar…” sahutku cuek.

“Yee, kalau kita ga datang dia malah makin ngamuk. Kan kasihan Indah kena imbasnya mulu. Ayo ah, ke radio…” kata Adi sambil menyeretku pergi.

Sebenarnya aku malu juga dibilang begitu. Mereka yang bukan anak komunikasi saja mau berjuang demi acara ini. Kenapa aku yang anak komunikasi malah males….

“Loh, ga ada Mas Mif?” tanyaku heran saat masuk ke Ikom Radio. Hanya ada Mbak Indah, Dila, dan Ana yang tampak sibuk sendiri-sendiri.

“Miftah ngilang, ga bisa dihubungi…” jawab Mbak Indah, tampaknya dia sedikit kesal. “Ini surat belum ditanda tangan, katanya disuruh nyebar sekarang. Dasar dia tuh!”

“Udah Mbak, sini aku yang tanda tangan…” kata Dila santai sambil menyiapkan stempel.

“Beneran nduk? Kamu bisa tanda tangan Miftah?” tanya Mbak Indah tak percaya.

“Sekarang kan Dila ahli meniru tanda tangan Mbak…” sahut Ana sambil tetap fokus pada laptopnya.

“Pokoknya tenang aja Mbak, dia mau ngambek trus ngilang gimanapun kita tetep masih bisa jalan kok…” kata Dila santai. “Emangnya dia pikir kalau dia ngilang kita bakal heboh gitu?”

Aku, Ana, Irfan, dan Adi saling pandang. Waduh, sadis juga nih Dila.

***

H-21


Rapat kali ini pun kembali berjalan dengan jumlah anggota yang minim. Untungnya hari ini Anind, sang seksi acara, hadir.

“Surat untuk sekolah udah dikirim semua?” tanya Mas Mif.

“Untuk yang luar Jogja udah semua, yang di Jogja masih ada beberapa yang belum,” jawab Dila.

“Minggu ini harus udah beres ya. Aku ga mau liat masih ada surat di Ikom,” kata Mas Mif lagi.

Beuh, enak betul dia bisa ngomong begitu. Padahal dia sama sekali ga bantu nyebarin, batinku kesal.

“Permisi Mbak, Mas…”

Kami semua menoleh kearah pintu, tampak seorang anak laki-laki berdiri disana.

“Aah, kamu yang sms itu ya? Ayo masuk, masuk…” sambut mbak Indah sambil bangkit berdiri. “Kedalem aja yuk…”

Anak itu berjalan melewati kami sambil tersenyum. Mbak Indah membawanya masuk ke kantor Ikom untuk melakukan pendaftaran.

Rapat kami lanjutkan. Sekarang giliran Anind membahas soal keseluruhan susunan acara. Belum lama, Mbak Indah keluar dari kantor Ikom.

“Mif, ternyata anak itu tuh baru lulus SMP. Gimana dong?” tanya Mbak Indah.

“Anak cowo itu Mbak?” tanyaku sambil mengerling kearah kantor Ikom.

“Iya nduk…. Gimana nih Mif?”

“Lah, kamu yang gimana Ndah…. Kenapa ga tanyain sebelumnya?” tanya Mas Mif dengan nada tinggi.

“Udah Mif, tapi dia tuh ga jawab. Makanya aku suruh dia datang kesini aja. Gimana dong Mif?”

“Ya bilang aja ga bisa. Acara kita kan emang untuk anak SMA….”

“Tapi kasian loh Mif, dia udah jauh-jauh dari Gunung Kidul….”

Brakk…


Semua terperanjat saat Mas Mif menggebrak panggung kayu yang ia duduki dengan keras. Aku bahkan bisa melihat debu-debu beterbangan dari panggung kecil itu.

“Kalau dibilang ga bisa ya ga bisa Indah! Salahmu sendiri kenapa ga nanya dulu!” bentak Mas Mif keras.

Dan pertahanan Mbak Indah pun jebol. Sekuat apapun dia, ini memang sudah keterlaluan. Mbak indah langsung lari keluar. Aku bisa melihat dia mulai menangis saat berdiri tadi.

“Dasar Indah tuh ga bisa dibilangin!” kata Mas Mif ketus.

Kita semua saling pandang. Serba salah rasanya.

“Mas Mif juga keterlaluan. Ga usah pake ngegebrak bisa kan? Ga tau apa disini tuh ada anaknya. Dil, coba kamu kedalem, bilangin sama anaknya dia ga bisa daftar tahun ini, suruh ikutan tahun depan aja gitu,” kata Anind dengan sigap mengendalikan situasi.


Dila berdiri, baru saja hendak melangkah, dari dalam kantor Ikom keluar anak tadi bersama Mas Nana. Anak itu memandang takut-takut kearah Mas Mif dan tersenyum kaku kearah kami. Mungkin dia sedikit mendengar pertengkaran tadi.

Setelah mengantarkan anak tadi sampai depan Mas Nana berhenti sebentar didekat kami.

“Kenapa? Kok ga dilanjutin rapatnya? Ayo dilanjutin, tapi kayanya kamu aja deh yang mimpin Nind. Ga baik kalau orang yang lagi emosi mimpin rapat…” kata Mas Nana cuek lalu kembali masuk ke kantor Ikom.

Kami semua saling pandang lagi dan tersenyum. Mas Nana memang selalu punya cara sendiri untuk menghibur kami. Harusnya Mas Mif belajar dari ketua Ikom sebelumnya ini.

“Yuk kita lanjutin, sampai mana tadi?” tanya Anind semangat.

***

H-1

Entah keajaiban apa yang membuat kami bisa bertahan sampai saat ini. Yang jelas disinilah kami, di ruang multimedia untuk melakukan evaluasi setelah seharian ini pembukaan CF dan technical meeting dilaksanakan.

“Oke, kita mulai aja ya evaluasinya…” kata Mas Mif membuka acara.

“Oh ya sebelumnya, aku duduk disini ya…. Biar sejajar gitu ketua Ikom Radio sama CEO,” kata Mas Sakti sambil menarik kursi sejajar dengan Mas Mif.

“Haha, iya Mas…. Ayo, ada yang mau mulai ngomong?”

“Aku Mif…” Mbak Indah mengacungkan tangannya. “Ini soal pembagian kerja tadi, aku ngerasa tadi tuh yang sibuk ngurusin anak-anaknya cuma kita aja dari Ikom Radio. Anak-anak CEO pada kemana? Ini kan acara kita bersama, tadi itu juga ada peserta dari debat kan. Kenapa cuma kita yang sibuk ngurusin?”

“Aku masuk ya?” kata Anind. “Menurutku sih kita cuma kurang kordinasi aja. Soalnya tadi juga ada peserta debat yang nanya soal acaranya dan kita ga ngerti apa-apa. Jadi sebenernya kita harus inget, sekarang kita bukan lagi bawa nama Ikom Radio atau CEO. Sekarang kita udah dalam satu kesatuan Communication Fiesta. Gitu aja sih menurutku.”

“Ya, Mas Sakti atau teman-teman dari CEO ada tanggapan?” tanya Mas Mif memoderatori.

“Iya, mewakili CEO aku minta maaf atas ketidak nyamanan tadi. Benar kata Anind, kita memang kurang kordinasi. Besok dan lusa kan acara masing-masing, jadi aku jamin ga ada hal seperti tadi. Sekarang kita tinggal fokus kordinasi untuk acara awarding. Ya kan Mif?” tanya Mas Sakti menutup pembelaannya.

“Iya, yang udah lewat biarlah berlalu, sekarang kita fokus untuk acara yang lebih besar, awarding night!

***

H1

“Loh Dil, kok masih ditutup? Acaranya batal?” tanyaku begitu kami keluar dari lift. Ruang pertemuan di gedung AR. Fachrudin ini masih sepi. Tirainya saja bahkan masih tertuup dengan rapi.

“Batal, batal, sembarangan aja kalau ngomong!” seru Bang Rustam yang tiba-tiba muncul dihadapan kami.

“Abang datang dari mana?” tanyaku heran.

“Tadi aku baru mau kebawah lewat tangga pas denger kalian datang. Ini ga ada kuncinya…”

“Hah, ga ada kuncinya? Bukannya kemaren Abang yang bawa?” tanya Dila panik.

“Kemaren kan udah aku balikin sama Miftah pas kita pulang beres-beres itu. Tapi tadi aku tanya satpam kuncinya ga ada, mungkin udah diambil cleaning service buat dibersihin. Eh, pas aku kesini ga ada orang dan pintunya masih ke kunci. Makanya sekarang aku mau cari cleaning service…”

“Abang udah telpon Mas Mif?” tanya Dila lagi.

“Udah, kalian tunggu disini ya, aku turun dulu…” kata Bang Rustam lalu pergi meninggalkan kami berdua disini.

“Wah, piye iki Dil?” tanyaku bingung.

“Peserta! Gimana kalau mereka keburu datang?!” tanya Dila balik. Aku melirik jam tanganku, sudah jam 07.30.

“Yang di unires suruh dibawa ke radio aja dulu Dil, ngapain kek gitu…” usulku.

“Oh iya, suruh dikenalin sama alat-alatnya aja ya…. Kalau gitu aku telpon Mbak Vera yang lagi jaga di unires deh.” Dila mulai mencari nomer Mbak Vera di handphone-nya dan menelepon sang seksi konsumsi.

Tiing….

Pintu lift terbuka, muncul Mas Miftah, Tika, Irfan, Adi, Bayu, dan Anind.

“Mana Rustam?” tanya Mas Mif tiba-tiba.

“Tadi ke bawah, nyari cleaning service,” jawabku.

Mas Mif berjalan mendekati pintu, didorongnya pintu itu dengan kasar. Setelah itu dia pergi keluar melalui pintu dibelakang meja penerima tamu, entah kemana.

“Anak-anak yang di unires gimana Dil?” tanya Anind.

“Aku udah telpon Mbak Vera, mereka aku suruh ke Ikom dulu buat dikenalain alat-alat.” Jawab Dila.

“Kalau gitu aku ke Ikom ya…. Bay, kamu bisa siapain disini kan?” kata Anind lagi.

“Oke siap! Ada Irfan sama Adi juga kok…” jawab Bayu.

Belum lama Anind pergi, Mas Mif tiba-tiba muncul dari pintu ruang pertemuan. Digedor-gedornya kaca untuk memanggil kami. “Lewat sini bisa…” teriaknya.

Kami saling pandang lalu pergi melewati jalan tempat dia pergi tadi. Kami berjalan menyusuri jalan kecil di depan ruangan itu, dan sampailah kami di sisi lain ruangan. Pintu sebelah sini terbuka.

“Nanti registrasinya disini aja. Siapin mejanya! Bay, Fan, siapin alat buat presentasi pembicara, laptop siapa yang dipake?” atur Mas Mif.

“Laptopku Mas!” seru Tika. Diapun pergi kembali ketempat tadi untuk mengambil tasnya yang ditinggal disana.

“Wah, tas kita semua ada disana!” kata Dila.

“Biar aku ambil…. Kalian siapin mejanya aja disini,” kataku sambil pergi menyusul Tika.

Baru saja aku kembali dengan setumpuk tas tiba-tiba pintu sebelah sana terbuka. Muncul Bang Rustam dengan beberapa orang bapak pengurus gedung. Disusul dengan kehadiran Mbak Indah bersama salah satu pembicara kami hari ini.

“Wah, Mas Ferry aja udah datang…” kata Dila.

“Itu toh yang namanya Ferry Anggara?” tanya Adi. “Agak ngondek ya….”

“Wooo, ngaca Di!” kataku sambil tertawa.

“Kita jadi pake pintu yang disana. Disini udah biarin aja…” kata Mas Mif yang datang tiba-tiba.

Biarin aja? Udah capek-capek bolak-balik bawa tas segini banyak dan dia bilang biarin aja? bantinku gedek.

“Ayo nyu…” seru Adi.

“Adi, bantuin ini bawa tas!” geramku. “Sial udah lari-lari juga tadi, malah disuruh balik lagi.”

“Biarlah nyu, biar kamu gede dikit…. Hahaha,” ledek Adi.

“Apa hubungannya?!”

Kuhempaskan tubuhku dikursi, akhirnya bisa istirahat. Semua tas dan berkas registrasi hari ini sudah kuatur. Tinggal nunggu peserta datang.

“Coba kamu ke Ikom Da, panggil pesertanya. Kita udah siap kan?” suruh Dila.

“Kenapa ga telpon aja sih Dil? Atau SMS kek gitu…. Cape ini dari tadi aku bolak-balik, mana lapar lagi…” protesku.

“Oh iya ya…” Dila nyengir dengan tampang tak bersalah.

Tiing….

“Ada yang mau makan?” tanya Mbak Vera yang muncul dari dalam lift dengan beberapa kotak nasi.

“Mau!” seruku girang. Gini nih enaknya BA, walaupun capek lahir batin, tapi kebutuhan perut dijamin. Paling ga makan dua kali sehari plus snack, hehehe.

***

H2

Aku melirik jam di pergelangan tanganku, jam 07.23.

Bagus, udah jam segini tapi belum ada orang. Gila, emang pada gila semuanya, batinku kesal.

“Aduh, kok belum ada orang sih?” tanya Dila cemas. “Lab TV udah beres belum ya? Mas Aji sama Mas Rohmat kemana lagi?”

“Kalian kok baru datang sih?” tanya Bang rustam yang muncul tiba-tiba dibelakang kami.

“Abang! Abang udah dari tadi?” tanyaku.

“Iyalah, aku bahkan sempet sarapan dulu tadi di kantin,” katanya cuek. “Radio udah siap, aku mau cek Lab TV tapi dikunci. Yang pegang kuncinya siapa toh?”

“Mas Aji sama Mas Rohmat…. Mereka SMS masih on the way katanya,” jawab Dila.

“Kenapa dari kemaren masalahnya kunci mulu sih?” tanyaku heran. “Dan kenapa dari kemaren orangnya selalu kita bertiga?”

“Oh, kamu ga suka? Ya udah aku pulang aja…” kata Bang Rustam.

“Yee, pundungan ih si Abang mah…” ledekku.

“Tapi untung cuma kita bertiga, coba kalau ada Mas Mif…. Pasti udah ngamuk-ngamuk dia liat belum ada orang gini,” kata Dila.

“Tapi kalau kaya kemarin nih ya, berarti nanti Mbak Vera datang bawa makanan lagi dong?”

“Wooo, ngarep…” sorak Dila dan Bang Rustam kompak.

***

H3

“Mbak, dicariin Mas Sakti tuh,” kataku pada Mbak Nene yang sibuk membuat kartu nominasi bersama Dila.

“Oh iya, ini belum selesai…. Gimana kalau kamu yang selesain? Tinggal yang dari debat kok…. Ntar aku SMS-in nama pemenangnya,” pinta Mbak Nene.

“Kenapa ga Dila aja?” tanyaku heran.

“Dila juga mau kebawah. Dia juga kan nanti baca nominasi.”

“Iya deh, mana sini…. Tinggal print aja kan?” tanyaku.

“Nanti udah diprint kamu bentuk kaya gini Da…” Dila menunjukkan salah satu contoh kartu yang sudah jadi.

“Oke, tinggal yang debat aja kan?”

“Yang BA udah, tapi belum dilipet…. Tolong ya Da…” kata Dila lalu pergi dengan Mbak Nene, meninggalkanku sendiri di kantor Ikom yang sepi.

Yang lain udah sibuk dibawah aku malah ngurusin beginian, batinku.

“Unyu, sendirian aja…”

Wah, trio pengacau datang…. “Mas-mas yang baik, tolong jangan ganggu ya…. Saya sedang sibuk.”

“Dih, siapa juga yang mau gangguin situ…” kata Mas Fikra menyebalkan.

“Wah, ini ya slayer panitia? Kita dapet juga dong?” tanya Mas Anom sambil membongkar kresek berisi slayer.

“Ambil Mas, ambil…. Tapi bantuin dulu sini…”

“Dih ogah!” kata Mas Fikra lagi. Orang ini memang paling menyebalkan sedunia.

Aku pindah kedepan, mulai memotong, melipat, dan mengelem kertas sesuai contoh yang diberikan Dila. Lagi sibuk dengan urusan ini tiba-tiba bola melayang disebelahku.

“Mas Anom, Mas Nana, Mas Fikra…. Kalau ga mau bantuin ya udah, tapi jangan ganggu juga dong! Malah main bola disini! Udah pada kebawah aja gih!” teriakku kesal.

***

“Ini Mbak…” aku menyerahkan kartu nominasi pada Mbak Nene di ruang tunggu pembaca nominasi.

“Makasih ya Wafda…. Udah kamu ke bawah aja, bantuin disana,”

“Iya Mbak…” jawabku manut.

Aku turun kebawah, acara sebentar lagi akan dimulai.

“Wafda!” Mbak Noni melambaikan tangannya memanggilku. Segera aku hampiri dia di meja hadiah.
“Kenapa Mbak?” tanyaku.

“Uang buat hadiah BA mana? Nominasi pertama dari BA loh…” katanya.

“Loh, emang Ana belum ngasih Mbak?”

“Ya mana Mbak tahu…”

Aduh, gawat…. Ana dimana pula?
batinku panik. Terdengar Adi dan Mbak Entet sudah mulai membuka acara.

Aku berlari kembali ke kantor Ikom di atas dan mendapati Ana sedang menghitung uang bersama Mas Fikra.

“Ana! Uang pemenangnya mana? Acara udah mulai itu…” seruku panik.

“Selow loh nyu…. Ini juga si Nur lagi ngitung duitnya,” kata Mas Fikra.

“Wah, ga adil nih mas…. Masa tadi aku digangguin, Ana malah dibantu…. Curang,” kataku sebal melihat Mas Fikra yang dengan anteng membantu Ana menghitung uang.

“Dia ga berani gangguin aku nyu, soalnya urusannya sama duit…. Hahaha,” ledek Ana. “Nih, udah! Penyiar radio, pembaca berita, presenter infotainment…. Nanti pas ambil uang suruh mereka tanda tangan trus ambil kwitansinya.”

“Siap bos!” seruku lalu langsung berlari ke bawah lagi.

Pas! Batinku saat tiba dibawah. Baru saja pasangan Pak Zuhdan dan Mbak Nai membacakan nominasi juara dua penyiar radio. Dilayar sekarang muncul bumper nama-nama nominator.

***

Acara berlangsung meriah. Aku bahkan bisa melihat Pak rektor tertawa menikmati lelucon dari Mas Zuli dan Mas Koko yang membacakan nominasi juara satu pembaca berita. Tapi rasanya ada yang aneh….

“Mbak, kok kayanya tadi ada yang salah ya?” tanyaku pada Mbak Noni.

“Salah apa?”

“Yang sebelum ini…. Kayanya yang baca nominasi harusnya bukan itu deh,” kataku sedikit tak jelas.

“Dila sama Pak Iqbal batal tampil,” kata Mbak Nene.

“Loh, kenapa Ne?” tanya Mbak Noni.

“Pak Iqbal dilarang tampil sama jurusan. Ga ngerti lah aku, mungkin soal konflik mereka itu. Dila aja sampe nangis di atas. Dia ga mau kalau tampil sendiri, jadi dua-duanya diganti.”

Ya ampun, kenapa disaat seperti ini jurusan tega banget. Padahal tadi aku liat Pak Iqbal semangat sekali saat latihan dengan Dila. Kasian Dila….

***

Aku melihat sekeliling. Anak-anak sudah tertidur lelap semua. Semua pasti lelah jiwa raga setelah seharian ini kerja keras banting tulang melaksanakan awarding night. Kami semua memang memutuskan untuk tidur di Ikom Radio karena sudah terlalu malam untuk pulang. Apalagi untuk anak kost sepertiku, jam 10 saja pintu kost sudah dikunci.

Aku menghela napas, entah kenapa aku tidak bisa tidur. Aku berjalan masuk ke kantor Ikom. Iseng aku mengambil setumpuk kartu uno yang tergeletak sedikit berantakan diatas meja. Aku tersenyum. Tiba-tiba aku teringat dengan tema acara kita, UNOuncer.

“Uno kan artinya satu, lihat kartu uno ini, beda-beda kan? Ini menggambarkan peserta Broadcaster Award yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Apalagi tahun ini kita sampai Jawa Timur juga, makin beragam dong peserta kita? Nah, walaupun mereka berbeda-beda, tapi mereka sama-sama berjuang untuk satu tujuan, jadi nomer satu! Uno!”

Aku masih ingat penjelasan Irfan yang menggebu-gebu itu. Sekarang aku sadar, tema itu sebenarnya bukan hanya untuk para peserta tapi juga untuk kami, panitianya. Kami semua berasal dari berbagai daerah. Bahkan hampir tidak ada yang sama. Kami semua memiliki karakter yang berbeda-beda, tapi kami berusaha untuk satu tujuan, menyukseskan acara ini.

Ini memang bukan hal yang mudah. Apalagi setelah kami harus bergabung dengan CEO. Ideologi serta cara kami yang berbeda mungkin kadang menimbulkan konflik. Tapi mau tak mau kami harus bersatu demi acara ini. Belum lagi kami harus berhubungan dengan jurusan. Cara pikir kami yang berbeda kadang saling berbenturan. Karena itulah muncul peristiwa Pak Iqbal tadi. Hah, aku jadi sedih kalau ingat Pak Iqbal.

Kuletakkan kembali kartu uno ini pada tempatnya. Yah, sekarang kami sudah bisa lega, acara ini terselenggara dengan seukses. Paling tidak itulah yang dilihat orang luar kan? Sekarang tinggal santai menyambut liburan panjang…. Eh, masih harus ngurus LPJ deng.

***

“Sekali lagi, cerita ini mungkin diambil dari kisah nyata, tapi perlu diingat ada bagian yang dilebih-lebihkan dan ada pula yang dikurang-kurangi. Jadi dimohon untuk tidak percaya seratus persen bahwa memang ini yang terjadi saat CF kemarin. Terima kasih….”