Wafda S. Dzahabiyya
Brakk….
“Aduh, kenapa pakai jatuh segala sih?! Nggak tahu orang
lagi buru-buru apa?” Aku berjongkok dan membereskan satu-persatu buku yang tak
sengaja kujatuhkan.
“Aih, ini dia undangannya! Dicari kemana-mana juga….” Aku
tersenyum lega, akhirnya kutemukan juga undangan reuni SMA yang sedari tadi aku
cari sampai menjatuhkan setumpuk buku dari meja belajar. Reuninya
diselenggarakan malam ini, tapi aku lupa dimana alamatnya. Menyimpan
undangannya saja aku lupa, apalagi alamatnya.
Cepat-cepat kubereskan buku-buku yang masih berserakan di
lantai. Ini pertama kalinya aku akan bertemu kembali dengan teman-teman SMA
setelah 5 tahun berpisah, jadi tentu saja aku tak mau telat.
Mataku tiba-tiba terpaku pada sebuah buku tebal bersampul
putih biru, buku tahunan SMA. Tanpa kusadari aku mengambil buku itu dan mulai
membuka lembar demi lembarnya. Aku tersenyum, kenangan-kenangan saat itu
berputar diotakku. Selembar foto meluncur kepangkuanku saat kubuka lembar
terakhir buku ini. Aku meraih foto itu. Itu fotoku, fotoku saat tersenyum dan
berlatar belakang langit biru. Foto dengan berjuta kenangan, tentang aku,
tentang dia, tentang kita….
***
“Aaahh…. Aku benci kimia!” Aku meremas hasil ulangan yang
tadi dibagikan. Lagi-lagi aku mendapati angka 40 ditulis dengan spidol merah
besar-besar bertengger di pojok atas kertas ulanganku. Guru kimiaku memang agak
sensi padaku, tadi saja dia mengomeliku panjang lebar di ruang guru. Mungkin
dia heran kenapa aku bisa mendapatkan nilai bagus di mata pelajaran lain
sedangkan tidak dimata pelajarannya. Yah, aku sendiri juga heran sih, tapi
sejak SMP aku memang tak pernah bisa berteman akrab dengan yang namanya kimia.
“Eh tunggu, ini dimana sih?!” Aku baru sadar sejak keluar
dari ruang guru tadi, aku terus berjalan tak tentu arah. Tampaknya ini disuatu
koridor di belakang sekolah. Tak ada seorang pun yang lewat disini. Disamping
kiri koridor terdapat taman dengan ilalang yang tumbuh tinggi. Mungkin tempat
ini benar-benar sudah tidak terurus lagi, cocok juga untuk tempat menyendiri.
Ckrekk….
Aku menoleh ke arah taman, sepertinya aku mendengar
sesuatu.
Ckrekk….
Kulihat seseorang muncul dari balik pohon, diantara
rimbunnya ilalang. Orang itu tampak asik dengan kameranya. Sepertinya aku
mengenal dia.
Ckrekk….
Orang itu berbalik, kameranya mengarah tepat ke arahku.
Selama beberapa saat ia terdiam, lalu menurunkan kameranya.
“Shin Hwa Ra?” tanya orang itu.
“Taecyeon?” aku balik bertanya. Benarkah yang ada
dihadapanku ini Taecyeon? Seorang Ok Taecyeon, teman sekelasku yang cupu dan
tak mudah didekati itu? Yang sama sekali nggak ada keren-kerennya itu?
“Benarkah kamu Taecyeon?”
“Ya, kenapa?” tanya Taecyeon heran.
“Tidak, kau hanya tampak… berbeda!” kataku.
“Ah! Mungkin karena aku tidak pakai kacamata.” Taecyeon
mengambil kacamata berlensa tebalnya dari saku seragam dan mengenakannya. “Aku
sulit memotret kalau memakai kacamata,” tambahnya.
“Kau belajar fotografi?” tanyaku penasaran.
“Yah, ayahku seorang fotografer. Aku belajar darinya,”
jawab Taecyeon.
“Banarkah?! Wah, aku juga ingin belajar fotografi…. Sudah
lama sekali aku ingin, tapi tak ada yang bisa kumintai tolong untuk
mengajariku. Apalagi aku tak punya kamera,” aku berhenti sebentar dan menatap Taec.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya curiga.
“Ajari aku fotografi yaa!” pintaku semangat.
“Apa?! Tidak tidak, aku juga masih belajar….”
“Yaah, ayolaah…. Atau kau fotokan aku!” pintaku lagi.
“Aku tidak bisa. Aku tidak bisa memotret manusia.”
“Hah? Kenapa?” tanyaku heran.
“Aku merasa bahwa manusia selalu berbohong di depan kamera.
Mereka kadang tidak menunjukkan dirinya yang sebenarnya, munafik. Aku lebih
suka memotret alam, mereka selalu jujur dan apa adanya. Ah, maaf, aku tidak
bermaksud mengatakan kalau kau seperti itu.”
“Ah, tidak, tidak apa-apa. Aku tahu memang beberapa orang
seperti itu. Aku tidak akan memaksa kau memotretku lagi,” aku tersenyum.
Ternyata dia punya pemikiran seperti itu. Hebat sekali.
“Tapi kalau kau mau, aku bisa mengajarimu sedikit yang aku
tahu,” kata Taecyeon tiba-tiba.
“Mengajariku memotret? Jinjja?”
tanyaku semangat.
“Tentu, kita belajar bersama,” katanya sambil tersenyum.
Senyumnya, aku belum pernah melihat senyumnya itu. Dia
bahkan hampir tak pernah melihatnya tersenyum dikelas.
“Taec, mianhae…,”
kataku pelan.
“Kenapa?”
“Ah tidak, hanya… maaf telah menganggapmu tak ramah. Aku
kira kau sulit untuk didekati, kau begitu tertutup dikelas. Ternyata kau sangat
baik. Dan… kau punya senyum yang manis…,” ups, kututup mulutku yang tak sengaja
keceplosan. Kulirik Taec, ia tampak memalingkan mukanya yang bersemu. Apakah ia
malu?
“Gomawo…,” katanya pelan.
***
“Ada yang mau mencalonkan diri menjadi panitia buku
tahunan?” tanya Kim Minjun, ketua kelasku.
Seisi kelas diam. Tampaknya semua sepakat bahwa menjadi
panitia buku tahunan bukanlah suatu hal yang menyenangkan.
“Tidak ada?” tanya Minjun lagi. “Kalau begitu biar aku saja
yang mencalonkan. Aku mencalonkan Ok Taecyeon dan Shin Hwa Ra!”
Apa? Apa dia bilang tadi?! Aku?!
“Bagaimana? Apa semua sepakat?”
Pertanyaan Minjun tadi sontak mendapat sambutan positif.
Semua sepakat. Sial!
“Nah, kalian tidak keberatan kan? Taecyeon, kau bisa
mengambil foto anak-anak sekelas beserta lingkungan sekolah. Sedangkan Hwa Ra,
kau yang mengumpulkan tulisan anak-anak dan merapikannya. Bisa kan?”
Aku melirik Taecyeon yang duduk beberapa bangku di
belakangku. Dia tampaknya tidak sedikitpun berminat untuk membantah. Mau tak
mau aku pun mengangguk.
***
“Kenapa tadi kau tidak menolak?” tanyaku pada Taecyeon
sepulang sekolah. Kami tinggal berdua di kelas, membicarakan konsep buku
tahunan untuk kelas kami.
“Kau sendiri kenapa? Tampaknya kau tidak begitu menyukai
tugas ini?” Taec balik bertanya. Aku terdiam. Mana mungkin aku bilang kalau aku
menerima tugas ini karena dia juga menerimanya.
“Tapi bukannya kau tidak suka memotret manusia?” tanyaku
lagi.
“Yah, itu juga yang dari tadi aku pikirkan,” kata Taec
sambil melepas kacamata dan mulai mengutak-atik kameranya.
“Bagaimana kalau aku saja yang memotret teman-teman? Jieun
bilang dia akan meminjamiku kameranya. Yah, hanya kamera digital biasa sih,
tapi lumayanlah. Nanti kau tinggal memotret lingkungan sekolah. Eh tapi, bantu
aku merapikan tulisan mereka juga ya…,” kataku bersemangat.
“Haha, semangat sekali sih!”
Aku tertegun, Taec tertawa! Selama satu tahun sekelas
dengannya, baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti ini. Tanpa kusadari aku
pun ikut tersenyum.
***
“Foto anak-anak sudah, tulisannya juga sudah semua, berarti
kita tinggal menyusunnya kan?” tanyaku sambil membereskan tulisan anak-anak
sekelas yang tadi aku cek. Saat ini aku dan Taecyeon tengah duduk di halaman
belakang sekolah, tempat pertama kami bertemu, untuk menyelesaikan tugas kami
sebagai panitia buku tahunan.
“Tapi fotomu belum ada nih,” kata Taec yang sedang
melihat-lihat hasil potretanku.
“Ah iya, kau juga belum aku foto loh! Sini, biar aku foto
kamu…,” kataku semangat. Aku berbalik dan…. Ckrekk!
“Aaahhh…. Kau foto apa?!” tanyaku panik.
“Kamu,” jawab Taec santai.
“Apa?! Bukannya kau bilang kau tak suka memotret manusia?”
“Memang, karena itulah kau orang pertama yang aku potret,”
kata Taec sambil tersenyum. Senyum itu, senyum yang hanya ia perlihatkan saat
bersama denganku. Bolehkah aku merasa istimewa?
“Nah, sudah semua kan?” kata-kata Taec membuyarkan
lamunanku.
“Ah, belum! Fotomu belum…,” protesku.
“Aku tak usah.”
“Tidak bisa, masa hanya fotomu yang tak ada.”
“Kalau begitu kita foto berdua saja, bagaimana?” tawar
Taec.
Belum sempat aku berkomentar, Taec sudah mengambil kamera
digital dan duduk disampingku. Diacungkannya kamera itu kehadapan kami.
“Ayo geser sedikit kesini….”
Aku menurut, kurapatkan lagi posisi dudukku hingga lengan
kami saling bersentuhan.
“Duh, aku belum pernah memotret seperti ini sebelumnya,”
gumam Taec pelan.
Kulirik dia, dan kulihat wajahnya sedikit bersemu. Tentu
saja, dia pasti malu. Aku tersenyum dan kembali melihat kearah kamera.
“Siap?” Taec mulai memberi aba-aba. “Hana, dul, set!”
Ckrekk….
***
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sambil tersenyum.
Berkali-kali kubolak-balik halaman buku tahunan ditanganku ini, tapi
perhatianku selalu terfokus pada satu foto. Ya, hanya pada fotoku dan Taecyeon.
Kuelus foto yang agak blur itu, mungkin tangan Taec sedikit
goyang saat memotretnya kemarin.
Aku kembali tersenyum saat membaca tulisan diatas foto
kami, ‘Our Photographer’.
Itu tulisanku, aku sengaja tidak menulis ‘Panitia’ atau istilah semacamnya,
terlalu kaku menurutku. Lagipula anggap saja kalau tulisan itu adalah doa. Doa
agar setelah lulus nanti kami benar-benar menjadi seorang fotografer.
Aku memasuki kelas yang mulai sepi. Banyak murid yang
memilih untuk langsung pergi bersama teman-temannya setelah perayaan kelulusan
selesai dan menikmati hari terakhir mereka sebagai seorang siswa. Ya, hari ini
kami resmi meninggalkan bangku SMA.
Aku duduk di bangkuku, mungkin ini akan jadi yang terakhir
kalinya. Aku melirik bangku milik Taec, bangku itu kosong. Seharian ini aku
memang tidak melihatnya. Kemana dia? Masa dia tidak datang di hari
kelulusannya?
Kuraih tas milikku. Sebuah foto meluncur jatuh dari dalam
tasku yang terbuka. Foto apa itu? Rasanya aku tak pernah memasukkan foto
kedalam tasku. Kuambil foto itu. Betapa terkejutnya aku, itu fotoku. Jangan-jangan
ini foto yang diambil Taec waktu itu…. Jadi dia mencetakkannya? Lalu kenapa
foto ini ada di tasku? Apa Taec datang kesekolah hari ini?
Kubalik foto itu, ada pesan dibaliknya. Pesan dengan
tulisan tangan Taec. Aku menggigit bibirku, berusaha sekuat tenaga menahan air
mata yang menyeruak.
‘You are my first, I Love You – Taecyeon’
***
“Hwa Ra! Sebelah sini!” kulihat Jieun melambaikan tangannya
kearahku. Aku tersenyum dan cepat-cepat menghampirinya.
“Lama tidak bertemu Jieun!” seruku seraya memeluknya.
“Iya, tak terasa ya sudah 5 tahun,” balas Jieun. “Kau sadar
tidak, 5 tahun yang lalu, kita juga lulus tepat di hari ini loh…. Harinya juga
sama, hari sabtu 26 Mei!”
“Benarkah?! Aku sama sekali tidak sadar…. Jangan-jangan Minjun memang sudah memperhitungkannya lagi,” kataku. “Oh iya, aku belum telat
kan?”
“Belum kok, kau hanya ketinggalan sambutan dari Minjun
tadi,” canda Jieun.
“Wah, berarti aku yang paling akhir datang ya?”
“Tidak, ada satu orang lagi yang belum datang, Taecyeon….
Minjun bilang dia akan datang terlambat karena ada pekerjaan.”
“Taecyeon?” aku tersentak.
“Ya, kudengar dari Minjun, dia kembali dari Boston tahun
lalu dan sekarang bekerja sebagai fotografer disebuah majalah,” jelas Jieun.
Aku kembali teringat kata-kata Minjun 5 tahun yang lalu, “Ah, Taecyeon…. Kemarin dia bilang
padaku kalau dia tidak bisa ikut upacara kelulusan. Dia bilang, dia akan
mengikuti orang tuanya, meninggalkan Korea dan pindah ke Boston. Dia berangkat
siang ini.”
Jadi dia sudah kembali?
***
“Maaf aku terlambat!”
Seruan itu membuatku dan seisi ruangan menoleh kearah pintu
masuk. Disana berdiri seorang pria tinggi dan tampan yang menyandang tas ransel
dan tas kamera. Aku menggigit bibir bawahku. Dia datang….
“Itu Taecyeon?”
“Pulang dari Boston dia berubah ya!”
“Hei, itu si cupu kan?”
“Gila, keren banget!”
“Ganteng banget dia sekarang!”
Bisik-bisik mulai terdengar bersahutan, aku jengah.
Kuputuskan untuk pergi keluar sebentar, sepertinya aku butuh udara segar.
“Jieun, aku ke toilet sebentar ya,” pamitku.
“Ah ya, tak perlu ditemani kan?” tanyanya.
“Tak usah,” jawabku sambil beranjak pergi. Aku melirik ke
arah Taecyeon yang sudah dikerubungi banyak orang. Tanpa sengaja pandangan kami
bertemu. Cepat-cepat kualihkan pandangan dan keluar dari ruangan ini.
***
Haaah….
Aku menghela napas panjang. Ada apa denganku? Bukankah
harusnya aku senang dapat kembali bertemu dengannya? Tapi kenapa hatiku malah
gundah? Kukeluarkan fotoku dari saku dan kubaca berulang-ulang tulisan Taec
disana. Apa maksud dari tulisannya ini?
“Hwa Ra!” Taecyeon tiba-tiba muncul dihadapanku. Wajahnya
tampak cemas.
“Huah, aku kira kau kemana. Tadi aku melihat kau keluar,
tapi sudah lama kau tak juga kembali. Ternyata kau malah asik duduk depan sini,
kenapa nggak di dalam saja sih?”
“Kau mengkhawatirkan ku?” tanyaku balik.
“Tentu saja,” jawabnya sambil berjongkok dihadapanku.
“Kenapa kau menghindar dariku?”
“Aku tak menghindar, aku hanya merasa… kau berubah. Aku
hanya merasa jadi ada jarak diantara kita,” jawabku sambil menunduk.
Taecyeon menyentuh daguku dan mengangkat wajahku agar
menatapnya.
“Aku tak berubah, aku masih tetap Taecyeon yang dulu.
Taecyeon yang kau temui di belakang sekolah. Hanya penampilanku yang berubah,
dan inilah yang merubah pandangan orang-orang. Percayalah, aku masih tetap
seperti dulu,” jelasnya seraya tersenyum.
Senyuman itu, senyuman yang aku rindukan. Ya, dia memang
tidak berubah.
“Kau masih menyimpan foto itu?” tanya Taec saat melihat
foto ditanganku.
“Ah ini….”
“Pinjam sebentar.” Taec meraih foto ditanganku dan
mengeluarkan pulpen dari sakunya. Selama beberapa saat ia menuliskan sesuatu
dibalik foto itu. “Ini,” katanya sambil mengembalikan foto itu padaku.
“Ini?” aku terkejut membaca kata-kata tambahan yang baru
saja ditulis oleh Taec.
“Dulu aku tak sempat mengatakannya secara langsung, dan
kuharap sekarang belum terlambat,” Taec diam sebentar. “You are my first, would
you be my last?” tanyanya.
Tanpa pikir panjang, kupeluk pria dihadapanku dan berbisik,
“I love you, always and forever!”
‘You are my first, I Love You, ALWAYS AND FOREVER – Taecyeon’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar